"Bu, kalo berasa ada yang nggak enak, panggil suster ya.." Begitu suster bilang saat transfusi pertamaku terpasang. Nah lho!! ngeri betul?
"Maksudnya?"tanyaku heran
"Kadang terjadi penolakan dari darah yang masuk.Tubuh Ibu akan merespon"
"Misalnya?"
"gatal gatal. pusing. mual. jantung berdebar sampai sulit bernafas." Suster bilang apa adanya. Dia tetap tersenyum seakan akan hal yang barusan disebut adalah hal kecil. Aku makin cemas... Sambil menatap kantung darah transfusiku aku ingat pernah membaca berita entah dirumah sakit mana- aku lupa- pernah terjadi kelalaian fatal. Baru sebentar ditransfusi orang tersebut kejang kejang lalu meninggal. Setelah dicek ternyata golongan darah pasien A tapi ditransfusi dengan B. Jelas saja out! Bisa jadi bukan salah mengambil kantung darah, bisa jadi salah melabeli, tapi akibatnya fatal banget!! duh? aku jadi paranoid. Apalagi aku O, cuma bisa terima O juga.
Belum lagi soal penularan hiv dan penyakit lain akibat transfusi darah. Hih serem. Untung saja RSPI menawarkan pengechekan ulang untuk memastikan darah yang kuterima bebas penyakit. "Memang diPMI di cek, tapi cuma random" begitu kata dokter. wah kami tidak berani ambil resiko.
"jika tidak dicek. Pasien cuma kena biaya kantong. Murah. Soalnya PMI juga terima gratis dari masyarakat. Tapi kalo dicek ada biaya pengecekan. perkantong jadi sekian. Kok jadi berlipat ganda ? Aku tercekat. Bukan cuma soal harganya yang begitu tinggi...tapi taukah para donor itu akan hal ini? Darah yang mereka sumbangkan dengan sukarela ternyata dihargai dengan rupiah disini. Pastinya dirumahsakit lain juga begitu.Tapi ini soal pilihan. mau membayar mahal anda dapat darah yang bebas penyakit. Tidak mau membayar anda dapat darah apa adanya.
Aku bukan expert dibidang kesehatan, tapi menyadari hal ini aku jadi miris. Bagaimana jika yang membutuhkan transfusi orang tidak mampu? apakah mereka harus gambling dengan kondisi darah yang apa adanya? Bagaimana prosedur pengecekan diPMI ? Berapa toleransi error sampling mereka? Bagaimana menyadarkan donor untuk hanya memberikan darah yang bebas penyakit? Tapi bisa jadi donor itu juga tidak tau dirinya punya HIV atau hepatitis kan? Wah bagaimana ya kalo penerima adalah pasien thalasemia yang harus rutin transfusi ? kebanyakan mereka anak-anak pula. Ugh!! itu tugas departemen kesehatan untuk memikirkannya. Ternyata masih banyak Pe-eR yang musti dikerjakan oleh pemerintah, agar yang miskin juga bisa menikmati hidup sehat di Indonesia ini.
Back to kantong pertama transfusiku. Aku mendadak gatal. Ups!! Aku berusaha berpikir positif. Mungkin ini cuma sugesti. Tapi lama2 aku nggak tahan. Ini bener-bener gatal dileher dan lengan. Aku memanggil suster. Suster menghentikan transfusiku dan menelphon dokter. Dokter menyuruh aku disuntik dan break, ganti infus dulu. nanti dilanjut lagi kalo gatalnya hilang. Ugh!! dokter kenapa nggak bilang begini ribet transfusi?? Aku senewen.
Well. Selalu ada pengalaman pertama. Ini pertamakalinya aku transfusi. Bagaimanapun ini pengalaman berharga buatku.
No comments:
Post a Comment