"Group mbak kompak banget ya, sampai pergi nonton bareng segala??” begitu komentar Vivi yang saat itu pulang kuliah nebeng mobilku.
Aku tertawa. “Emang kamu nggak tau ?”
“Apaan ?” desak Vivi
“Group kita pilih WORLD CUP buat thema walkabout projectnya Mcom. Makanya kta besok mau pergi nonton bareng. “
Vivi yang berbeda group dengan aku cuman bilang “Oh pantes”
Walkabout is final project for Managerial Communication course. Its interesting concept!! We –as group-have to present special theme , and the important point in assessment is how we deliver , share and influence the audience about the topic. How we strategies to communicate with them. Well, its time to execute all the theory and improve our communication skill.
This detail project is too serious to tell here. I just want to share my experience to prepare this project.
Walau nggak ngerti Bola. Demi kesuksesan project dan komitmen terhadap kelompok. Aku ikut juga ke Front Row –Sport Grill Café di Senayan. Kami datang bukan buat diskusi, survey, atau riset. Kami datang untuk membaur dengan audience.Menonton perlawanan Serbia & Montenegro terhadap serangan Argentina bersama pengunjung café yang lain. Feel the atmospher. Hunting the moment of Nonton bareng
Usually our gathering purpose is all about case analysis assignment, office politic, how to manage the boss. Leadership type....Solve the Decision Analysis homework with regression, NPV, statistic, Forecasting, undirect cost, simulation, linier programming, etc. Or prepare presentation for Managerial Economic, discuss about supply, demand, cost differentiation, inflation.
All about the serious stuff. Nothing more.
This night is special. We hang out together!!. Before the match Argentina VS Serbia & Montenegro we have a great chit chat. Share laugh, joke and cigarette!! I just realize how friendly, funny, and crazy, my group mates are.
“ Yang Argentina yang mana ?” tanyaku innocent
Wafa menepuk jidatnya “ Aduh !! Basic banget pertanyaannya.. Mbak !!”
“ Coba Za , Explain!!” dia meminta Reza menjelaskan..Mereka menertawakan aku.
Bapak pesan apa ? tanya waiter.
“Bir “ kata Rizki yakin
Tapi begitu dia tau kami memesan juice, Rizki merevisi ordernya.
“Saya juice juga deh”.
Kami menertawakan Rizki.
Kami memesan empat juice. Tapi yang datang lima.
Lha, tadi yang dibayar kan cuma empat!
Denny menolak juice itu.”Saya belum order kok, mas.”
Reza mengoda Denny “ tumben lu jujur”
“wisss..gue kan selalu jujur” tangkis Denny.
Kami menertawakan Denny
Wafa terlalu semangat. Dia nonton sambil berdiri.
“Wafa, duduk dong!!” bisikku. Front Row penuh sesak, tidak ada tempat tersisa.aku takut kursi Wafa diambil orang.
“Ya Maklum Mbak Wafa biasa nonton sambil berdiri di teve kelurahan” Jo meledek Wafa.
Kami terbahak, menertawakan Wafa.
Well, kayaknya Walkabout project ini awal yang baik untuk kita berenam. Untuk saling mengenal lebih baik, lebih dekat. Demi sebuah group yang solid dan punya motivasi tinggi. Semua ini buat mendukung keberhasilan program kuliah magister kita, 2 tahun kedepan.
So Guys..keep up the Good Spirit !! Goooooll !!
Beribu kata, banyak cerita ditulis dari sudut sebuah rumah. Untuk membingkai kenangan -mengabadikan pengalaman -mengoreskan harapan.
Friday, June 30, 2006
Wednesday, June 28, 2006
What's Yours ??
"Sabar Mbak, please” Begitu teman-teman segroupku di IPMI bilang. Lima orang cowo. 3 orang sudah beristri. 2 orang masih single. Well, aku memang sudah bicara dengan nada tinggi sejak tadi. Kenapa sih aku nggak bisa smooth saat berdiskusi ma mereka ??
Walau aku sudah pasang muka bete tapi mereka masih senyum-senyum menatapku. Aku menarik nafas panjang. Melanjutkan sisa diskusi tugas bedah kasus Organization Behavior dengan berusaha lebih sabar.
Mengapa aku merasa berbeda dengan teman-teman segroupku? Mereka begitu panjang sabar, baik hati dan murah senyum ? Semua itu mulai terjawab sejak kami mengikuti kuliah Managerial Communication.
“ I would ask each of you to take MBTI test to know your type of personality. The test is available at the internet – fee of charge, please do and send the result to me trough email “ Ms. Netta- our lecture said at the beginning of the M-Com class.
The day after that first class, I took the test online. My type was – ENTP - Extraversion-Intuition-Thinking-Perceiving. This type-more or less-describe as :
Extraversion- Preference in Communicate energy and enthusiasm
Intuition - Preference for taking in information from the “sixth sense” and noticing what might be
Thinking-Preference to decide in a logical objective way
Perceiving - Preference for living as spontaneous and flexible life
Seminggu berlalu. Kami kembali hadir di kelas M-Com hari kamis. Bu Netta menjelaskan masing-masing type. Beliau tiba pada typeku – “ENTP people have Contribution to the Organization by View limitations as challenges to be overcome, Provide new ways to do things, Offer conceptual frame of reference to problems, Take initiative and spur others on, Enjoy complex challenges”
“But they also have Potential Pitfalls as they may forgetting about current realities may be competitive and unappreciative of the contribution of others. may over-extend themselves
And may not adapt well to standard procedures”
Aku menyimak dengan sungguh-sungguh. Denny-salah satu teman segroup yang duduk disebelah berbisik “lu banget tuh Mbak” Aku nyengir. Denny betul, apa yang didesripsikan oleh bu Netta rasanya “gue banget”
“Class, Now I ask you to practice how plan strategy to communicate with different group of “Temperament Work Styles”. Please make 4 group by categories NF. NT. SP and SJ type”
Aku pindah duduk. Berkelompok bersama teman lain yang mempunya type NT. Aku melihat sekeliling,mencari teman-teman segroupku. Reza, Rizky dan Denny duduk di group NF. Jo di group SJ. Wafa tidak hadir. Hah ? Majoritas teman di groupku adalah orang-orang NF. I’m Surprise!!
Dwiya yang duduk disebelahku-karena kami sama-sama NT- menyadari keterkejutanku. “Mbak, temen-temen segroup lu mayoritas orang NF ya ??”
Aku mengangguk . Spceehless. Pantas saja!!
Dwiya tertawa. “How lucky you belong into that group, and how unlucky them to have you.” Kusikut Dwiya agar diam.
Kami menyimak penjelasan bu Netta soal bagaimana strategi berkomunikasi dengan group type yang berbeda. Kami harus menganalisa kekurangan dan kelebihan dari type kami untuk menjembatani perbedaan dengan group lain. Kami berdiskusi. Steve maju kedepan buat sharing. Mewakili Group NT People.
At a glance Steve said “ The important point to deal with SP people is We should give attention to detail , since they love that,but we don’t. With the SJ people by follow the procedure. and with NF person is by consider their felling since the NF people always concern about felling, while NT people tend to ignore others person feeling”.
Gotcha!! That’s the answer. Itulah jawaban mengapa aku merasa berbeda dengan majoritas teman-teman segroupku. Sejak itu aku berjanji untuk memperbaiki caraku berkomunikasi dengan mereka. Dengan lebih memperhatikan perasaan mereka. Agar komunikasi di group kami bisa berjalan dengan mulus.
So….My personality type is ENTP…… What’s Yours?
Walau aku sudah pasang muka bete tapi mereka masih senyum-senyum menatapku. Aku menarik nafas panjang. Melanjutkan sisa diskusi tugas bedah kasus Organization Behavior dengan berusaha lebih sabar.
Mengapa aku merasa berbeda dengan teman-teman segroupku? Mereka begitu panjang sabar, baik hati dan murah senyum ? Semua itu mulai terjawab sejak kami mengikuti kuliah Managerial Communication.
“ I would ask each of you to take MBTI test to know your type of personality. The test is available at the internet – fee of charge, please do and send the result to me trough email “ Ms. Netta- our lecture said at the beginning of the M-Com class.
The day after that first class, I took the test online. My type was – ENTP - Extraversion-Intuition-Thinking-Perceiving. This type-more or less-describe as :
Extraversion- Preference in Communicate energy and enthusiasm
Intuition - Preference for taking in information from the “sixth sense” and noticing what might be
Thinking-Preference to decide in a logical objective way
Perceiving - Preference for living as spontaneous and flexible life
Seminggu berlalu. Kami kembali hadir di kelas M-Com hari kamis. Bu Netta menjelaskan masing-masing type. Beliau tiba pada typeku – “ENTP people have Contribution to the Organization by View limitations as challenges to be overcome, Provide new ways to do things, Offer conceptual frame of reference to problems, Take initiative and spur others on, Enjoy complex challenges”
“But they also have Potential Pitfalls as they may forgetting about current realities may be competitive and unappreciative of the contribution of others. may over-extend themselves
And may not adapt well to standard procedures”
Aku menyimak dengan sungguh-sungguh. Denny-salah satu teman segroup yang duduk disebelah berbisik “lu banget tuh Mbak” Aku nyengir. Denny betul, apa yang didesripsikan oleh bu Netta rasanya “gue banget”
“Class, Now I ask you to practice how plan strategy to communicate with different group of “Temperament Work Styles”. Please make 4 group by categories NF. NT. SP and SJ type”
Aku pindah duduk. Berkelompok bersama teman lain yang mempunya type NT. Aku melihat sekeliling,mencari teman-teman segroupku. Reza, Rizky dan Denny duduk di group NF. Jo di group SJ. Wafa tidak hadir. Hah ? Majoritas teman di groupku adalah orang-orang NF. I’m Surprise!!
Dwiya yang duduk disebelahku-karena kami sama-sama NT- menyadari keterkejutanku. “Mbak, temen-temen segroup lu mayoritas orang NF ya ??”
Aku mengangguk . Spceehless. Pantas saja!!
Dwiya tertawa. “How lucky you belong into that group, and how unlucky them to have you.” Kusikut Dwiya agar diam.
Kami menyimak penjelasan bu Netta soal bagaimana strategi berkomunikasi dengan group type yang berbeda. Kami harus menganalisa kekurangan dan kelebihan dari type kami untuk menjembatani perbedaan dengan group lain. Kami berdiskusi. Steve maju kedepan buat sharing. Mewakili Group NT People.
At a glance Steve said “ The important point to deal with SP people is We should give attention to detail , since they love that,but we don’t. With the SJ people by follow the procedure. and with NF person is by consider their felling since the NF people always concern about felling, while NT people tend to ignore others person feeling”.
Gotcha!! That’s the answer. Itulah jawaban mengapa aku merasa berbeda dengan majoritas teman-teman segroupku. Sejak itu aku berjanji untuk memperbaiki caraku berkomunikasi dengan mereka. Dengan lebih memperhatikan perasaan mereka. Agar komunikasi di group kami bisa berjalan dengan mulus.
So….My personality type is ENTP…… What’s Yours?
Aku & Narsis
Aku senyum-senyum membaca sebuah email yang di forward di milis teman-teman SMPku. Postingan itu berjudul “Narsis Habis!!”
Berikut aku kutip sebuah alenia dari sana
Pengidap narsis bisa dinilai juga orang-orang yang ingin mendewakan dirinya sendiri oleh sebab itulah juga banyak juga orang menilai para pemilik blog maupun situs pribadi itu itu adalah orang-orang yang narsis abis ato orang memiliki sifat megalomania
Aku nyengir. Narsis ? Aku punya situs pribadi sejak tahun 2000. Apakah aku termasuk orang yang disebut Narsis ?
Aku bikin blog buat menyalurkan kemampuanku menulis. Berbagi cerita tentang anak-anakku, pengalaman, dan pendapatku. Aku menganggapnya sebagai bagian dari mengekspresikan diri. Untuk membingkai kenangan, mengabadikan pengalaman dan mengoreskan harapan.
Well, dengan membaca tulisan-tulisan-ku silahkan kalian menilai sendiri.
Apakah aku narsis ?? atau ini sekedar ekspresi diri??
Berikut aku kutip sebuah alenia dari sana
Pengidap narsis bisa dinilai juga orang-orang yang ingin mendewakan dirinya sendiri oleh sebab itulah juga banyak juga orang menilai para pemilik blog maupun situs pribadi itu itu adalah orang-orang yang narsis abis ato orang memiliki sifat megalomania
Aku nyengir. Narsis ? Aku punya situs pribadi sejak tahun 2000. Apakah aku termasuk orang yang disebut Narsis ?
Aku bikin blog buat menyalurkan kemampuanku menulis. Berbagi cerita tentang anak-anakku, pengalaman, dan pendapatku. Aku menganggapnya sebagai bagian dari mengekspresikan diri. Untuk membingkai kenangan, mengabadikan pengalaman dan mengoreskan harapan.
Well, dengan membaca tulisan-tulisan-ku silahkan kalian menilai sendiri.
Apakah aku narsis ?? atau ini sekedar ekspresi diri??
Tuesday, June 27, 2006
Alhamdulillah wasyukurilah
Bersujud kepada Allah
Bersyukur sepanjang waktu
Setiap nafasmu, seluruh hidupmu
Semoga diberkahi Allah
Sejak kecil aku terbiasa bersaing dengan kakakku.
Tapi aku merasa tidak bisa lagi menandingi dia. Saat setelah lulus kuliah dengan IP tinggi. dia memutuskan memakai jilbab. Menikah diusia muda dan memilih jadi ibu rumah tangga.
Dia berubah menjadi lebih religius. Membatasi hal-hal yang bersifat duniawi. Lebih memprioritaskan bekal untuk kehidupan kelak di akhirat.
Dia menjadi semakin baik. Aku tertinggal. Tidak mampu mengejar.
Hal yang paling berkesan adalah ketika dia menasehatiku, saat kami sudah sama-sama dewasa.“Kayaknya hidupmu selalu senang dan bahagia. Tidak pernah susah, ya ?”
Aku mengangguk. “Kenapa ?” tanyaku acuh.
“Ojo lali. Itu tidak berarti kamu tidak sedang dicoba Allah”.
“Maksudnya ?” Ih, ngomong apa sih Mbak ini ? Setauku Allah kan memberikan cobaan dengan penderitaan. Dengan kesulitan.
“Hm,bisa jadi Allah mencoba kamu dengan kesenangan. Apakah dengan berlimpahnya rahmat yang diberikan-Nya, kamu tetap ingat akan sholat, berdoa, sedekah dan bersyukur. Justru ini adalah cobaan yang tidak kasat mata.”
Aku tertegun. Dalam susah dan senang kita memang harus selalu teringat pada Allah. Sayangnya kebanyakan orang hanya dekat pada Allah dikala susah, dan lupa pada Allah di saat senang. Aku jadi malu.
Wah, Kakakku itu memang hebat ya !! Aku patut bersyukur punya kakak kayak dia.
Alhamdulillah wasyukurilah
Besyukur padamu ya Allah
Kau jadikan kami saudara
Indah dalam kebersamaan
Bersyukur sepanjang waktu
Setiap nafasmu, seluruh hidupmu
Semoga diberkahi Allah
Sejak kecil aku terbiasa bersaing dengan kakakku.
Tapi aku merasa tidak bisa lagi menandingi dia. Saat setelah lulus kuliah dengan IP tinggi. dia memutuskan memakai jilbab. Menikah diusia muda dan memilih jadi ibu rumah tangga.
Dia berubah menjadi lebih religius. Membatasi hal-hal yang bersifat duniawi. Lebih memprioritaskan bekal untuk kehidupan kelak di akhirat.
Dia menjadi semakin baik. Aku tertinggal. Tidak mampu mengejar.
Hal yang paling berkesan adalah ketika dia menasehatiku, saat kami sudah sama-sama dewasa.“Kayaknya hidupmu selalu senang dan bahagia. Tidak pernah susah, ya ?”
Aku mengangguk. “Kenapa ?” tanyaku acuh.
“Ojo lali. Itu tidak berarti kamu tidak sedang dicoba Allah”.
“Maksudnya ?” Ih, ngomong apa sih Mbak ini ? Setauku Allah kan memberikan cobaan dengan penderitaan. Dengan kesulitan.
“Hm,bisa jadi Allah mencoba kamu dengan kesenangan. Apakah dengan berlimpahnya rahmat yang diberikan-Nya, kamu tetap ingat akan sholat, berdoa, sedekah dan bersyukur. Justru ini adalah cobaan yang tidak kasat mata.”
Aku tertegun. Dalam susah dan senang kita memang harus selalu teringat pada Allah. Sayangnya kebanyakan orang hanya dekat pada Allah dikala susah, dan lupa pada Allah di saat senang. Aku jadi malu.
Wah, Kakakku itu memang hebat ya !! Aku patut bersyukur punya kakak kayak dia.
Alhamdulillah wasyukurilah
Besyukur padamu ya Allah
Kau jadikan kami saudara
Indah dalam kebersamaan
(Album : Alhamdulillah Munsyid : Opick)
Monday, June 26, 2006
Sebuah Handycam-Seribu Kenangan
“Tahun lalu handycam kita paling kuno diantara orang tua murid lain. Ternyata tahun ini kita juga satu-satunya yang belum pake handycam digital”. Ayah berbisik pada Bunda. Di tengah riuhnya persiapan pentas seni sekolah Aim.
Bunda nyengir. Ayah memang sudah lama mengajukan proposal untuk membeli Digicam, handycam baru-ber teknologi digital. Menggantikan handycam analog yang kami miliki sekarang. “ Lebih praktis dan canggih, Bun” Begitu Ayah bilang. Tapi Bunda belum menyetujuinya. Banyak hal lain yang harus diprioritaskan.
Bunda ingat. handycam Hitachi ini dibeli Ayah di Singapore saat Iqbal masih bayi. Hampir 11 tahun lalu. Walau kuno, bulky dan ribet- masih pake kaset 8mm-tapi Bunda menyayanginya.
Handycam itu sudah jadi sahabat Ayah Bunda dalam mengabadikan masa-masa indah bersama-anak-anak. Banyak Ulang tahun. Banyak pentas seni sekolah. Banyak liburan, Banyak celoteh, kelucuan , tawa dan cinta direkam olehnya.
Sampai kini pun kami masih sering tertawa jika memutar ulang saat-saat Iqbal belajar jalan. Sempoyongan dan jatuh dirumput. Melihat ulang lucunya Aim -yang baru belajar ngomong - menirukan pemandu wisata di puri Besakih-Bali. “nda ata, momek…..nda ata momek"
(maksudnya:”nggak ada, monyet”) saat kita kehabisan kacang untuk para monyet.
Walau Abang dan Aim sudah besarpun handycam itu tetap berjasa merekam betapa antusiasnya Iqbal membeli tiket di automatic ticket machine - MRT Singapore. Atau betapa excitednya Aim saat menonton Magical Fountain Show di Sentosa island. Banyak saat-saat berharga yang telah diabadikannya. Moment tumbuh kembang anak-anak kami yang luar biasa!!
“Jadi kapan beli Digicamnya, Bun ?” Ayah mendesak
“Nanti aja kalo anak ketiga udah lahir” kata Bunda tersenyum. Ngeles.
Ayah bengong. Ye?? jadi kapan tuh ?
Bunda nyengir. Ayah memang sudah lama mengajukan proposal untuk membeli Digicam, handycam baru-ber teknologi digital. Menggantikan handycam analog yang kami miliki sekarang. “ Lebih praktis dan canggih, Bun” Begitu Ayah bilang. Tapi Bunda belum menyetujuinya. Banyak hal lain yang harus diprioritaskan.
Bunda ingat. handycam Hitachi ini dibeli Ayah di Singapore saat Iqbal masih bayi. Hampir 11 tahun lalu. Walau kuno, bulky dan ribet- masih pake kaset 8mm-tapi Bunda menyayanginya.
Handycam itu sudah jadi sahabat Ayah Bunda dalam mengabadikan masa-masa indah bersama-anak-anak. Banyak Ulang tahun. Banyak pentas seni sekolah. Banyak liburan, Banyak celoteh, kelucuan , tawa dan cinta direkam olehnya.
Sampai kini pun kami masih sering tertawa jika memutar ulang saat-saat Iqbal belajar jalan. Sempoyongan dan jatuh dirumput. Melihat ulang lucunya Aim -yang baru belajar ngomong - menirukan pemandu wisata di puri Besakih-Bali. “nda ata, momek…..nda ata momek"
(maksudnya:”nggak ada, monyet”) saat kita kehabisan kacang untuk para monyet.
Walau Abang dan Aim sudah besarpun handycam itu tetap berjasa merekam betapa antusiasnya Iqbal membeli tiket di automatic ticket machine - MRT Singapore. Atau betapa excitednya Aim saat menonton Magical Fountain Show di Sentosa island. Banyak saat-saat berharga yang telah diabadikannya. Moment tumbuh kembang anak-anak kami yang luar biasa!!
“Jadi kapan beli Digicamnya, Bun ?” Ayah mendesak
“Nanti aja kalo anak ketiga udah lahir” kata Bunda tersenyum. Ngeles.
Ayah bengong. Ye?? jadi kapan tuh ?
Thursday, June 22, 2006
The Smiling Papi
prolog
a new expatriate asked to Ayah “So, He is your brother in law ? You married with his sister ?” Ayah simply said “yup”
“I wanna ask something”
“Yes please…whats up?”
“Why He never smile ?”
Ayah speechless.
Well, aku jadi inget kejadian tiga tahun lalu, satu hari di bulan June.
“Bapak minta Ayah kasih sambutan” begitu Ayah bilang. Aku terkejut!! Bapak akan merayakan ulangtahunnya minggu depan. Restoran Handayani sudah di booking. Dan Bapak minta Ayah-menantunya-untuk kasih kata sambutan ? nggak salah nih ??
Aku segera menelphon Bapak untuk negosiasi.Berusaha menawar. “Mending – Papi yang kasih sambutan. Ayah baca doa aja ? gimana ?”usulku. Papi adalah adikku persis. Untung Bapak setuju. ”Atur saja deh” begitu Bapak bilang.
Hari H tiba. Papi memberikan kata sambutan. Mengucapkan terimakasih pada semua saudara-saudara yang sudah hadir, diulang tahun Bapak ke 65. Tumben Papi banyak tersenyum. Sharing joke dan tawa.Bukan seperti kesehariannya yang selalu serius dan terkesan arogan
Aku lega. Papi bisa tampil hangat bersahabat, didepan seluruh keluarga besar. Tidak jaim seperti yang dikhawatirkan Bapak sebelumnya.
Sejak kecil adikku itu memang selalu serius. Dalam banyak hal. No wonder prestasinya di sekolah, terbaik diantara kami berempat. Dia selalu berpikir dalam diam. Terlalu pelit berkata banyak.
Hm, sepertinya Bapak memang menaruh banyak harapan dipundaknya. Karena dia Anak laki-laki bapak satu-satunya
Mewujudkan Harapan yang besar. Menjadi kebanggaan orang tua memang bukan hal yang mudah. Sejauh ini Papi mampu untuk itu.
Hanya saja Papi terlalu serius melakoninya. Aku ingin dia bisa lebih rileks. Lebih banyak tersenyum. Aku berharap dia bisa menjadi "The Smiling Papi", sebab aku percaya pada when you’re smile. Everybody in the world would smile with you.
Keep smiling Bro, I Love you !!
a new expatriate asked to Ayah “So, He is your brother in law ? You married with his sister ?” Ayah simply said “yup”
“I wanna ask something”
“Yes please…whats up?”
“Why He never smile ?”
Ayah speechless.
Well, aku jadi inget kejadian tiga tahun lalu, satu hari di bulan June.
“Bapak minta Ayah kasih sambutan” begitu Ayah bilang. Aku terkejut!! Bapak akan merayakan ulangtahunnya minggu depan. Restoran Handayani sudah di booking. Dan Bapak minta Ayah-menantunya-untuk kasih kata sambutan ? nggak salah nih ??
Aku segera menelphon Bapak untuk negosiasi.Berusaha menawar. “Mending – Papi yang kasih sambutan. Ayah baca doa aja ? gimana ?”usulku. Papi adalah adikku persis. Untung Bapak setuju. ”Atur saja deh” begitu Bapak bilang.
Hari H tiba. Papi memberikan kata sambutan. Mengucapkan terimakasih pada semua saudara-saudara yang sudah hadir, diulang tahun Bapak ke 65. Tumben Papi banyak tersenyum. Sharing joke dan tawa.Bukan seperti kesehariannya yang selalu serius dan terkesan arogan
Aku lega. Papi bisa tampil hangat bersahabat, didepan seluruh keluarga besar. Tidak jaim seperti yang dikhawatirkan Bapak sebelumnya.
Sejak kecil adikku itu memang selalu serius. Dalam banyak hal. No wonder prestasinya di sekolah, terbaik diantara kami berempat. Dia selalu berpikir dalam diam. Terlalu pelit berkata banyak.
Hm, sepertinya Bapak memang menaruh banyak harapan dipundaknya. Karena dia Anak laki-laki bapak satu-satunya
Mewujudkan Harapan yang besar. Menjadi kebanggaan orang tua memang bukan hal yang mudah. Sejauh ini Papi mampu untuk itu.
Hanya saja Papi terlalu serius melakoninya. Aku ingin dia bisa lebih rileks. Lebih banyak tersenyum. Aku berharap dia bisa menjadi "The Smiling Papi", sebab aku percaya pada when you’re smile. Everybody in the world would smile with you.
Keep smiling Bro, I Love you !!
Tuesday, June 20, 2006
1 Tante 8 Keponakan
Setelah cucu kedelapan Mamah lahir, status Dian adalah ”1 Tante 8 Keponakan.” Plesetan dari judul sinetron terkenal "1 Tante 7 Keponakan."
Ya. Adik bungsuku itu adalah Tante yang sangat care dengan keponakan-keponakannya. Bahkan –menurutku-terlalu berlebihan.
Seperti saat Ummi-begitu kami menyebut Mbak Ary -mengirim putri sulungnya untuk masuk pesantren di Jakarta, di pondok gede tepatnya. Tante Dian justru yang sibuk.
Justru Dian yang tidak tega melihat Zahra harus hidup prihatin. Berbagi kamar tanpa AC. Antri kamar mandi. Mencuci dan mensetrika pakaian sendiri, Makan dengan menu 3T – ”tahu tempe tauge”. Handphone dilarang. Bacaan disortir. Plus kehidupan santri yang serba tertib dan ketat.
Pada Awalnya Zahra menangis dan mengeluh tidak betah. Tapi mau bilang apa ? Abi dan Umminya di Palembang sudah memutuskan dia harus tinggal. Mereka ingin Zahra menjadi anak yang beriman, berakhlak baik dan berbudi pekerti luhur. Hari gini emang susah punya anak cewe ABG. Salah didik , bisa berabe!!
Tante Dian yang jatuh kasihan sering menengok Zahra, membawakan makanan yang lebih enak, membawa pulang pakaian kotornya dan mengirim yang sudah bersih.
Aku menegurnya ”Lu ngapain sih mondar-mandir ke pesantren gitu?” Gila aja. Seminggu bisa dua-tiga kali!
”Gue kasihan lihat zahra, dia kan masih kecil, belum lagi 13 tahun.”
”Tapi kan Ummi dan Abinya memang memilih pesantren itu supaya dia bisa mandiri. Mau sampai kapan lu suapin terus ?”
”Kita lihat entarlah.. "katanya enteng. ”Bunda kapan nengok Zahra?.”
”Aku paling bisa sebulan sekali. ”
Aku bukannya tidak sayang sama Zahra, keponakan perempuanku yang sipit,putih dan lugu itu. Tapi menurutku apa yang sudah dipilihkan Abi dan Ummi, pasti lah yang terbaik untuk Zahra.
Well, Dian memang belum punya anak. Dia belum tahu bahwa menjadi orangtua tidak selamanya harus memanjakan dengan kenyamanan dan kecukupan materi. Mengajarkan keprihatinan sejak dini adalah pilihan yang bijaksana.Agar mereka sadar, hidup ini tidak selamanya diatas. Dian memang belum berpengalaman betapa complicatednya mendidik anak. Tapi harus diakui bahwa Dian adalah Tante yang sangat sayang dengan 8 keponakannya.
Epilog.
Iqbal cemberut saat menengok Zahra di pesantren. Dia miris melihat betapa sederhananya kondisi disana. Iqbal berbisik tajam. ”Bunda !! pokoknya Iqbal nggak mau masuk pesantren. Titik!!”
Aku tersenyum ” Nggak kok, Bunda pengin kamu sekolah SMA di Singapore ? gimana, setuju?” Aku mengoda.
Iqbal tambah bete. ”Ih Bunda, pokoknya nggak mau !!”
Aku tahu, Iqbal nggak mau kehilangan semua kenyamanan yang ada dirumah.
Eh, kalo Iqbal sekolah di Singapore, apakah Tante Dian juga akan sering menengok ??
Ya. Adik bungsuku itu adalah Tante yang sangat care dengan keponakan-keponakannya. Bahkan –menurutku-terlalu berlebihan.
Seperti saat Ummi-begitu kami menyebut Mbak Ary -mengirim putri sulungnya untuk masuk pesantren di Jakarta, di pondok gede tepatnya. Tante Dian justru yang sibuk.
Justru Dian yang tidak tega melihat Zahra harus hidup prihatin. Berbagi kamar tanpa AC. Antri kamar mandi. Mencuci dan mensetrika pakaian sendiri, Makan dengan menu 3T – ”tahu tempe tauge”. Handphone dilarang. Bacaan disortir. Plus kehidupan santri yang serba tertib dan ketat.
Pada Awalnya Zahra menangis dan mengeluh tidak betah. Tapi mau bilang apa ? Abi dan Umminya di Palembang sudah memutuskan dia harus tinggal. Mereka ingin Zahra menjadi anak yang beriman, berakhlak baik dan berbudi pekerti luhur. Hari gini emang susah punya anak cewe ABG. Salah didik , bisa berabe!!
Tante Dian yang jatuh kasihan sering menengok Zahra, membawakan makanan yang lebih enak, membawa pulang pakaian kotornya dan mengirim yang sudah bersih.
Aku menegurnya ”Lu ngapain sih mondar-mandir ke pesantren gitu?” Gila aja. Seminggu bisa dua-tiga kali!
”Gue kasihan lihat zahra, dia kan masih kecil, belum lagi 13 tahun.”
”Tapi kan Ummi dan Abinya memang memilih pesantren itu supaya dia bisa mandiri. Mau sampai kapan lu suapin terus ?”
”Kita lihat entarlah.. "katanya enteng. ”Bunda kapan nengok Zahra?.”
”Aku paling bisa sebulan sekali. ”
Aku bukannya tidak sayang sama Zahra, keponakan perempuanku yang sipit,putih dan lugu itu. Tapi menurutku apa yang sudah dipilihkan Abi dan Ummi, pasti lah yang terbaik untuk Zahra.
Well, Dian memang belum punya anak. Dia belum tahu bahwa menjadi orangtua tidak selamanya harus memanjakan dengan kenyamanan dan kecukupan materi. Mengajarkan keprihatinan sejak dini adalah pilihan yang bijaksana.Agar mereka sadar, hidup ini tidak selamanya diatas. Dian memang belum berpengalaman betapa complicatednya mendidik anak. Tapi harus diakui bahwa Dian adalah Tante yang sangat sayang dengan 8 keponakannya.
Epilog.
Iqbal cemberut saat menengok Zahra di pesantren. Dia miris melihat betapa sederhananya kondisi disana. Iqbal berbisik tajam. ”Bunda !! pokoknya Iqbal nggak mau masuk pesantren. Titik!!”
Aku tersenyum ” Nggak kok, Bunda pengin kamu sekolah SMA di Singapore ? gimana, setuju?” Aku mengoda.
Iqbal tambah bete. ”Ih Bunda, pokoknya nggak mau !!”
Aku tahu, Iqbal nggak mau kehilangan semua kenyamanan yang ada dirumah.
Eh, kalo Iqbal sekolah di Singapore, apakah Tante Dian juga akan sering menengok ??
Sunday, June 18, 2006
Harga Sebuah Uban
“Seribu“ pertama Iqbal bilang begitu.
“nggak ah! duaratuslimapuluh aja” tawarku.
“Ye… kalo Ayah mau kasih lima ratus”
“Kalo Ayah kan rambutnya pendek banget. Jelas lebih susah. Penawaran terakhir deh. Tigaratus!!”
Iqbal bukan sedang menawar di warung. Dia sedang bernegosiasi.
Berapa harga sebuah uban ?
Ya, berapa ratus rupiah yang akan aku berikan, jika dia mau membantu mencabut uban di kepalaku. Dihitung perhelai. Dan kesepakatan terjadi diangka tigaratus rupiah per uban.
Dengan usia yang tidak lagi muda, rambutku sudah mulai beruban.
Besar keinginan untuk mengecat rambut dengan warna yang trendy, tapi Ayah tidak mengijinkan. Bunda tetap cantik tanpa harus mengecat rambut, begitu katanya. Sedikit uban, itu biasa. Bagian dari proses menjadi lebih tua, menjadi lebih bijaksana.
Tapi kalo banyak Uban, aku risi juga. Makanya aku merayu Iqbal untuk membantuku mencabut uban. Dengan janji aku akan memberinya extra uang, untuk setiap uban yang didapat.
“Udah enam ribu nih, Bun!!” seru Iqbal.
“eh,apanya ?” aku tersadar dari kantuk, saat Iqal mencabuti ubanku.
“Duapuluh uban kali tigaratus kan enamribu”.
“Emang uban Bunda dah habis?”.
“Belumlah!! Tapi makin lama makin susah nyarinya. Lagian Iqbal ada janji sama temen-temen buat main bola. Dilapangan dekat koperasi, Bun”
Dia menatap jam dinding dengan resah
Kuberikan uang sepuluh ribu.
“Kok lebih?”
“Buat beli minum di koperasi” kataku tersenyum.
“Asyik…!! “katanya sambil bergegas pergi main
Well, aku ingat, selagi kami anak-anak sampai remaja, Mamah lebih mengandalkan aku mencari uban, dibanding kakak dan adikku. Mungkin karena aku tak pernah menolak. Aku tidak keberatan, karena inilah saat kami mengobrol. Sambil terkantuk-kantuk menikmati semilir angin di teras rumah, Mamah mendengarkan segudang ceritaku.
Bukan cuman soal susahnya ulangan biologi (dulu Mamah ingin aku jadi dokter, tapi maaf Mah, aku tidak berminat), soal pertengkaranku dengan sahabat, tapi juga tentang cowo-cowo yang naksir aku :-)
Itulah sebabnya, aku tidak pernah bertanya pada Mamah
Berapa harga sebuah uban ?
“nggak ah! duaratuslimapuluh aja” tawarku.
“Ye… kalo Ayah mau kasih lima ratus”
“Kalo Ayah kan rambutnya pendek banget. Jelas lebih susah. Penawaran terakhir deh. Tigaratus!!”
Iqbal bukan sedang menawar di warung. Dia sedang bernegosiasi.
Berapa harga sebuah uban ?
Ya, berapa ratus rupiah yang akan aku berikan, jika dia mau membantu mencabut uban di kepalaku. Dihitung perhelai. Dan kesepakatan terjadi diangka tigaratus rupiah per uban.
Dengan usia yang tidak lagi muda, rambutku sudah mulai beruban.
Besar keinginan untuk mengecat rambut dengan warna yang trendy, tapi Ayah tidak mengijinkan. Bunda tetap cantik tanpa harus mengecat rambut, begitu katanya. Sedikit uban, itu biasa. Bagian dari proses menjadi lebih tua, menjadi lebih bijaksana.
Tapi kalo banyak Uban, aku risi juga. Makanya aku merayu Iqbal untuk membantuku mencabut uban. Dengan janji aku akan memberinya extra uang, untuk setiap uban yang didapat.
“Udah enam ribu nih, Bun!!” seru Iqbal.
“eh,apanya ?” aku tersadar dari kantuk, saat Iqal mencabuti ubanku.
“Duapuluh uban kali tigaratus kan enamribu”.
“Emang uban Bunda dah habis?”.
“Belumlah!! Tapi makin lama makin susah nyarinya. Lagian Iqbal ada janji sama temen-temen buat main bola. Dilapangan dekat koperasi, Bun”
Dia menatap jam dinding dengan resah
Kuberikan uang sepuluh ribu.
“Kok lebih?”
“Buat beli minum di koperasi” kataku tersenyum.
“Asyik…!! “katanya sambil bergegas pergi main
Well, aku ingat, selagi kami anak-anak sampai remaja, Mamah lebih mengandalkan aku mencari uban, dibanding kakak dan adikku. Mungkin karena aku tak pernah menolak. Aku tidak keberatan, karena inilah saat kami mengobrol. Sambil terkantuk-kantuk menikmati semilir angin di teras rumah, Mamah mendengarkan segudang ceritaku.
Bukan cuman soal susahnya ulangan biologi (dulu Mamah ingin aku jadi dokter, tapi maaf Mah, aku tidak berminat), soal pertengkaranku dengan sahabat, tapi juga tentang cowo-cowo yang naksir aku :-)
Itulah sebabnya, aku tidak pernah bertanya pada Mamah
Berapa harga sebuah uban ?
Tart Buat Bapak
Aku ingat. Saat ulangtahunku yang ke 10. Hari itu aku tak sengaja membuat rusak krey. Krey baru diteras rumah itu baru terpasang seminggu, dan tadi aku terlalu keras menariknya, sehingga krey lepas dari penyangganya.
Mamah bingung. Tak tau harus berbuat apa.
Siapa yang bisa memperbaiki ??
Aduh !! padahal Bapak sebentar lagi pulang kantor.
Aku takut dimarahi Bapak.
Bapakku galak. Semua orang tau itu.
Benar saja. Bapak kaget melihat krey yang jebol.
Bapak segera menaruh box kue tart yang baru saja diturunkan dari mobil. Lalu bergegas mengechek krey yang rusak.
Aku tidak terlalu antusias akan kue tartku. Aku merasa bersalah.
Untung Bapak tidak marah. Bapak bilang akan memperbaikinya kembali. Ups!! Lega rasanya.
Lucunya. Ketika kami membuka box kue tart. Isinya sudah belepotan.
Kok Bisa ? Rupanya saking buru-burunya, Bapak salah meletakkan box kue tart itu. Terbalik atas bawah. Jelas saja cream yang seharusnya ada diatas, jadi dibawah. Belepotan deh kemana-mana.
Kami semua tertawa-tawa, makan kue tart yang tidak lagi beraturan bentuknya. “makanya jangan nakal” bisik mbak Ary sok menasehati. Berbeda dengan aku yang bandel, mbak Ary memang sebaik malaikat. Aku cuman nyengir. Kuenya tetap enak kok!!
Buktinya Bram dan Dian tetap makan dengan lahap.
Walau aku bandel, nakal, dan selalu membantah. Bapak tetap menyayangiku :-)
Saat ulang tahun Bapak kemarin, aku membawakan kue tart buat Bapak. Sebuah Blackforest dengan lilin angka 68 diatasnya.
Happy Birthday Bapak !!
Wishing you all the happiness, you so deserve ...
from "Dance With My Father"
...Back when I was a child
Before life removed all the innocence
My father would lift me high till I fell asleep
Then up the stairs he would carry me
And I knew for sure I was loved
Chorus:
If I could get another chance
Another walk,
another dance with him,
I'd play a song that would never ever end
How I'd love love love, to dance with my father again...
Mamah bingung. Tak tau harus berbuat apa.
Siapa yang bisa memperbaiki ??
Aduh !! padahal Bapak sebentar lagi pulang kantor.
Aku takut dimarahi Bapak.
Bapakku galak. Semua orang tau itu.
Benar saja. Bapak kaget melihat krey yang jebol.
Bapak segera menaruh box kue tart yang baru saja diturunkan dari mobil. Lalu bergegas mengechek krey yang rusak.
Aku tidak terlalu antusias akan kue tartku. Aku merasa bersalah.
Untung Bapak tidak marah. Bapak bilang akan memperbaikinya kembali. Ups!! Lega rasanya.
Lucunya. Ketika kami membuka box kue tart. Isinya sudah belepotan.
Kok Bisa ? Rupanya saking buru-burunya, Bapak salah meletakkan box kue tart itu. Terbalik atas bawah. Jelas saja cream yang seharusnya ada diatas, jadi dibawah. Belepotan deh kemana-mana.
Kami semua tertawa-tawa, makan kue tart yang tidak lagi beraturan bentuknya. “makanya jangan nakal” bisik mbak Ary sok menasehati. Berbeda dengan aku yang bandel, mbak Ary memang sebaik malaikat. Aku cuman nyengir. Kuenya tetap enak kok!!
Buktinya Bram dan Dian tetap makan dengan lahap.
Walau aku bandel, nakal, dan selalu membantah. Bapak tetap menyayangiku :-)
Saat ulang tahun Bapak kemarin, aku membawakan kue tart buat Bapak. Sebuah Blackforest dengan lilin angka 68 diatasnya.
Happy Birthday Bapak !!
Wishing you all the happiness, you so deserve ...
from "Dance With My Father"
...Back when I was a child
Before life removed all the innocence
My father would lift me high till I fell asleep
Then up the stairs he would carry me
And I knew for sure I was loved
Chorus:
If I could get another chance
Another walk,
another dance with him,
I'd play a song that would never ever end
How I'd love love love, to dance with my father again...
Thursday, June 08, 2006
Arisan Keluarga – Sebuah Potret Kenangan
Aku masih saja membujuk Iqbal untuk ikut datang ke arisan keluarga.
“ Kamu ikut dong, Bang. Supaya kenal sama saudara-saudara Bunda yang lain”
“ Yang datang arisan besok, sama nggak dengan yang datang arisan 2 bulan lalu ? di rumah kung Condet?” Dua bulan yang lalu aku memang memaksanya ikut. Kakek Neneknya jadi tuan rumah arisan, masa cucunya sendiri nggak datang ?
“ Ya sama lah, namanya juga arisan keluarga”
“ kalo gitu ngapain Iqbal datang ? Kan udah kenal semua, waktu dirumah kung Condet ? Iqbal males ikut , ah” sahut Iqbal tajam. Aku terdiam. Kalah berdebat.
Arisan keluarga ini-diselengarakan 2 bulan sekali- memang punya tujuan mempererat persaudaraan. Membuat generasi berikutnya saling mengenal. Bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar Hardjoutomo.
“ Ben ora kepaten obor” begitu Pakdeku menyebutnya.
Sesepuh dalam arisan ini adalah Bapak dan saudara-saudaranya. Pakde-Bude, Oom dan Tante-ku yang terhormat. Arisan adalah saat mereka menikmati kembali sambel tumpang, tempe bacem, nting-ting gepuk, kripik paru, sambil bertukar kabar. Lebih banyak soal kondisi kesehatan. Diabetes, kolesterol, dan hipertensi jadi topik utama.
Peserta terbanyak adalah anak-anak mereka. Aku dan para sepupu. Dengan usia 45-25 tahun, kamilah yang mendominasi acara arisan ini. Selain ngobrol ringan tentang keseharian kini, inilah saat kami mengenang masa kecil bersama.
Bertemu para sepupu mengingatkanku pada saat liburan di rumah Mbah Putri yang super besar, pawonnya aja mungkin type 50 :-)
Di pawon yang punya empat tungku itulah kami sering berkumpul, menghangatkan badan dari udara dingin pagi Salatiga. Becanda dan saling ledek.
Siang hari kami lewatkan dengan bermain di halaman rumah tua yang maha luas. Berlari-lari, petak umpet, lompat tali, diantara hamparan cengkeh dan kopi yang sedang dijemur. Naik dokar ke pasar sapi, beli bubur cendil, makan jenang, nting-nting gepuk, wingko . Melihat-lihat kandang kuda dan ayam dibelakang rumah. Atau sekedar menyusuri kebun cengkeh dan kopi yang seakan tak berujung, saking luasnya kebun Simbah kami. Harum cengkeh dan aroma kopi adalah bagian dari kenanganku bersama sepupu-sepupu itu.
Selain Liburan, Lebaran dan Natal adalah saatnya berkumpul. Sungkem, makan ketupat, pohon terang, petasan dan kembang api. Perbedaan keyakinan tidak pernah jadi masalah. Sejak kecil kami terbiasa saling menghormati agama masing-masing.
Satu yang aku ingat, seorang pakde pernah menegurku “Kok kowe koyo werkudoro, Nduk?”
Aku balik bertanya “opo pakde ?” maksudnya apa? Kok aku dibilng seperti werkudoro, nama salah satu tokoh wayang.
“Ora iso boso karo wong tuwo” kata Pakdeku menahan senyum. Aku jadi malu.
Lahir dan besar dan di Jakarta memang membuatku tidak bisa berbahasa kromo ingil. Aku selalu ngoko, berbahasa jawa dengan tingkat paling rendah. Padahal Bapak dan Mamah-orangtuaku-fasih berkromo inggil.
Sejak itu aku belajar kromo inggil, yang basic-basic aja sih. Dan jika aku nggak yakin dengan ucapanku, aku prefer berbahasa Indonesia dengan Pakdeku itu..Well, pelajaran yang berharga.
Back to soal arisan dan Iqbal.
Yang paling bete dengan acara arisan ini memang anak-anak dari sepupuku yang seusia Iqbal, 8 – 17 tahun. Mereka nggak pada betah berlama-lama. Kalo pun disuruh ngobrol bareng mereka akan duduk bareng diteras , kira-kira ber 10-14 orang, trus masing-masing mengeluarkan game-boy, N-gage, atau hp lain buat nge-game. Ngak ada yang ngobrol. Masing-masing sibuk dengan tuts-tuts hpnya. Keterlaluan banget deh!!
“ Wis Jan tenan bocah saiki“ begitu komentar sepupuku melihat kelakuan mereka.
Aku jadi termenung. Kakek dan Nenek mereka tinggal di kota. Mereka tidak punya kesempatan berharga seperti bunda dan sepupu untuk berlibur di rumah kakek dan nenek di desa.Mereka tetap ingin bermain. Tapi tak punya banyak pilihan. Yang ada hanya plastation, game-boy, games di hp dan komputer. Mainan elektronik yang tidak memperkaya pengalaman dan jiwa.
Aku dan Sepupu bertukar pandang. Jika tidak ada emotional bounding diantara mereka-sebagai generasi penerus nama besar Hardjoutomo-Sampai kapan tradisi arisan keluarga ini akan bertahan ? Anak-anak dengan game boy dan N-gage itulah yang akan menjawabnya
“ Kamu ikut dong, Bang. Supaya kenal sama saudara-saudara Bunda yang lain”
“ Yang datang arisan besok, sama nggak dengan yang datang arisan 2 bulan lalu ? di rumah kung Condet?” Dua bulan yang lalu aku memang memaksanya ikut. Kakek Neneknya jadi tuan rumah arisan, masa cucunya sendiri nggak datang ?
“ Ya sama lah, namanya juga arisan keluarga”
“ kalo gitu ngapain Iqbal datang ? Kan udah kenal semua, waktu dirumah kung Condet ? Iqbal males ikut , ah” sahut Iqbal tajam. Aku terdiam. Kalah berdebat.
Arisan keluarga ini-diselengarakan 2 bulan sekali- memang punya tujuan mempererat persaudaraan. Membuat generasi berikutnya saling mengenal. Bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar Hardjoutomo.
“ Ben ora kepaten obor” begitu Pakdeku menyebutnya.
Sesepuh dalam arisan ini adalah Bapak dan saudara-saudaranya. Pakde-Bude, Oom dan Tante-ku yang terhormat. Arisan adalah saat mereka menikmati kembali sambel tumpang, tempe bacem, nting-ting gepuk, kripik paru, sambil bertukar kabar. Lebih banyak soal kondisi kesehatan. Diabetes, kolesterol, dan hipertensi jadi topik utama.
Peserta terbanyak adalah anak-anak mereka. Aku dan para sepupu. Dengan usia 45-25 tahun, kamilah yang mendominasi acara arisan ini. Selain ngobrol ringan tentang keseharian kini, inilah saat kami mengenang masa kecil bersama.
Bertemu para sepupu mengingatkanku pada saat liburan di rumah Mbah Putri yang super besar, pawonnya aja mungkin type 50 :-)
Di pawon yang punya empat tungku itulah kami sering berkumpul, menghangatkan badan dari udara dingin pagi Salatiga. Becanda dan saling ledek.
Siang hari kami lewatkan dengan bermain di halaman rumah tua yang maha luas. Berlari-lari, petak umpet, lompat tali, diantara hamparan cengkeh dan kopi yang sedang dijemur. Naik dokar ke pasar sapi, beli bubur cendil, makan jenang, nting-nting gepuk, wingko . Melihat-lihat kandang kuda dan ayam dibelakang rumah. Atau sekedar menyusuri kebun cengkeh dan kopi yang seakan tak berujung, saking luasnya kebun Simbah kami. Harum cengkeh dan aroma kopi adalah bagian dari kenanganku bersama sepupu-sepupu itu.
Selain Liburan, Lebaran dan Natal adalah saatnya berkumpul. Sungkem, makan ketupat, pohon terang, petasan dan kembang api. Perbedaan keyakinan tidak pernah jadi masalah. Sejak kecil kami terbiasa saling menghormati agama masing-masing.
Satu yang aku ingat, seorang pakde pernah menegurku “Kok kowe koyo werkudoro, Nduk?”
Aku balik bertanya “opo pakde ?” maksudnya apa? Kok aku dibilng seperti werkudoro, nama salah satu tokoh wayang.
“Ora iso boso karo wong tuwo” kata Pakdeku menahan senyum. Aku jadi malu.
Lahir dan besar dan di Jakarta memang membuatku tidak bisa berbahasa kromo ingil. Aku selalu ngoko, berbahasa jawa dengan tingkat paling rendah. Padahal Bapak dan Mamah-orangtuaku-fasih berkromo inggil.
Sejak itu aku belajar kromo inggil, yang basic-basic aja sih. Dan jika aku nggak yakin dengan ucapanku, aku prefer berbahasa Indonesia dengan Pakdeku itu..Well, pelajaran yang berharga.
Back to soal arisan dan Iqbal.
Yang paling bete dengan acara arisan ini memang anak-anak dari sepupuku yang seusia Iqbal, 8 – 17 tahun. Mereka nggak pada betah berlama-lama. Kalo pun disuruh ngobrol bareng mereka akan duduk bareng diteras , kira-kira ber 10-14 orang, trus masing-masing mengeluarkan game-boy, N-gage, atau hp lain buat nge-game. Ngak ada yang ngobrol. Masing-masing sibuk dengan tuts-tuts hpnya. Keterlaluan banget deh!!
“ Wis Jan tenan bocah saiki“ begitu komentar sepupuku melihat kelakuan mereka.
Aku jadi termenung. Kakek dan Nenek mereka tinggal di kota. Mereka tidak punya kesempatan berharga seperti bunda dan sepupu untuk berlibur di rumah kakek dan nenek di desa.Mereka tetap ingin bermain. Tapi tak punya banyak pilihan. Yang ada hanya plastation, game-boy, games di hp dan komputer. Mainan elektronik yang tidak memperkaya pengalaman dan jiwa.
Aku dan Sepupu bertukar pandang. Jika tidak ada emotional bounding diantara mereka-sebagai generasi penerus nama besar Hardjoutomo-Sampai kapan tradisi arisan keluarga ini akan bertahan ? Anak-anak dengan game boy dan N-gage itulah yang akan menjawabnya
Subscribe to:
Posts (Atom)