“Bapak ..Ibu.. Boleh melempar jumrah pagi ini… tapi pesan saya.. jangan melempar jumrah dalam kondisi perut kosong.. makan dulu..minum dulu yang hangat… kalo badan dah hangat.. baru deh lempar jumrah …” begitu pesan singkat bapak kepala kloter sesampainya kami dalam tenda di Mina.
Satu tenda di Mina sangat besar. Mungkin muat satu kloter. Untuk kenyamanan, tenda kami disekat sekat dengan terpal panjang. Satu sekat memanjang -estimasi 12 X 5 meter- untuk satu rombongan, 45 orang. Karena tempatnya pas pasan jatah tiap orang cuma sebesar satu sajadah.
Untuk keleluasaan, kami memasang hijab antara laki laki dan perempuan. Perempuan diberikan tempat sebelah dalam. Adanya hijab darurat ini -thanks buat ibu ibu yang sudah meminjamkan 4 kain panjangnya dan memberikan peniti buat “menjahit” hijab- sangat membantu kami perempuan. Untuk sekedar ganti baju dan ganti kerudung bisa dilakukan dalam tenda-dibelakang hijab of course!! Tanpa perlu ke toilet umum yang antriannya sangat panjang
Urusan memasang hijab beres. Ayah mengambil air panas di dapur umum, lalu menyeduh dua pop mie yang kami bawa dari Mekkah. Setelah kami usai makan, walau cuma pop mie- Alhamdulillah- badan terasa lebih hangat.
Jam 4 dini hari, pak karom memberikan pengumumam dengan logat betawinya yang medok “Tadi pan kepala kloter kirim utusan untuk survey tempat lempar jumrah, udah ada sms nih dari sono, katanye sekarang kosong. Kalo pada mau melempar sekarang… ayoh dah kita pade berangkat"
Mendengar kata “kosong “ aku langsung terjaga. Well, melempar jumrah adalah ritual yang cukup membuatku cemas. Mampukah aku berdesak desakan?? Hampir tiap tahun terjadi jatuh korban disana. Untung ayah juga setuju, kami bergegas mengikuti pak Karom keluar tenda.
Kami berjalan cepat dengan nafas memburu, pengin segera sampai, pengin segera menuntaskan kewajiban. Rasanya sudah jauuuuh kami sudah berjalan, kok belum juga keliatan?? Teman teman dibelakang banyak yang berseru seru “Pak karom..!! pak karom tunggu.. pelan pelan..!!“
"Ayo pak.. Ibu... buruan.. kondisi disono cepat berubah.. takutnya udah keburu penuh…!!” kata pak karom tanpa melambat. Kami yang harus mempercepat langkah.
Ugh!! Capek. Lelah. Udah nggak dipkir. Yang ada dikepala adalah bisa melaksanakan kewajiban ini dengan selamat. Melempar jumrah dalam kondisi kosong, adalah hal yang kami inginkan. Banyak yang bilang lempar jumrah aqabah dihari pertama adalah yang paling sesak.
Rupanya setelah deretan tenda tenda sepanjang satu kilometer, kami masih harus melalui terowongan mina yang panjangnya 2 km, sampai diujung terowongan rupanya tempat melempar jumrah masih sekilo lagi didepan.
Dalam kilometer terakhir suasana sudah beritu serius. Deretan ambulans. Beratus ratus tentara Saudi sudah siaga. Bersiap menghadapi kondisi darurat. Masya Allah!! Ini kan baru jam 4.30 dini hari!!
Alhamdulillah. Sampailah kami depan tiang jumrah aqabah di lantai dasar. Buru buru kami mulai melempar Bismillahi Alllahu Akbar..
Dengan membaca takbir, kami melempat satu demi satu batu yang sudah dipersiapkan. Total tujuh batu. Jika banyak yang bilang akan ada orang yang histeris saat melempar jumrah ternyata benar!! Beberapa jamaah terlihat melempar dengan sengit...
Mungkin mereka terlalu terbawa emosi teringat akan riwayat Keluarga nabi Ibrahim yang melempar batu pada setan yang mengoyahkan imannya untuk melaksanakan perintah Allah, untuk mengorbankan Ismail.
Usai melempar, aku mundur kebelakang. baru aku ngeh dengan keadaan sekeliling. Walau sudah ribuah orang disana Kondisi saat itu memang dibilang kosong, tidak semenakutkan bayanganku sebelumnya saat melihat gambar ketika tiang yang dilempar hanya berupa satu tiang tinggi (liat gambar tiang lama) yang memaksa jamaah berdesakan pada satu wilayah sempit.
Saat ini tempat melempar jumrah saat ini memang sudah dibuat lebih aman. Selain dua lantai (sedang dibangun untuk jadi empat lantai-liat gambar maketnya).
Tiang yang dilempar juga sudah diperlebar (liat gambar kanan, sekarang tiangnya elips ) Walau tetap berdesakan- Alhamdulillah-keselamatan jamaah semakin diprioritaskan.
Aku bersyukur sudah bisa melaluinya dengan mudah. Berikutnya Ayah minta tolong orang yang sudah bertahalul untuk memotong rambutnya untuk bertahalul juga Kemudian Ayah memotong sedikit rambutku. Lega, saat sudah bertahalul awal. Paling tidak kami bisa melepas baju ihram dan terbebas dari begitu banyak pantang berihram. Sebelum tahalul akhir pantang yang masih melekat hanya hubungan suami istri ..ehm..ehm :-D
Walau beberapa orang dalam rombongan kami langsung lanjut ke mekkah untuk tanazul. Namun kami prefer kembali ke tenda. Saat pulang kami melewati terowongan mina, sisi yang sebaliknya. Semenjak kecelakaan tahun 1990, terowongan mina saat ini terdiri dua tunnel dipisah untuk jamaah yang pergi dan pulang melempar.
Sampai di kemah, saatnya shalat subuh. Ayah melepas kain Ihram dan ganti baju biasa. Pukul sepuluh teman teman seregu mengajak kami untuk tanazul. Tapi ayah menolak. “Saya demam. Capek banget. Istirahat dulu”
Aku mendukung Ayah. Concernku adalah jam sepuluh baru berangkat ke mekkah terlalu beresiko. Jika belum kembali ke mina sebelum waktu magrib, bisa kena dam. Apalagi haji kali ini sangat padat , menginggat banyak yang menyakini sebagai haji akbar....
No comments:
Post a Comment