Tawaf Ifadha adalah salah satu rukun haji. Makanya aku merasa belum tenang sebelum melaksanakan. Akhirnya saaat tiba di mekkah-kami istirahat dan cari makan dulu. Menjelang magrib baru kami menuju Harom untuk Tawaf dan Sai.
Suasana masjidil haram penuh sesak. Walau banyak jamaah yang sudah tanazul, banyak juga yang saat itu masih di mina, tapi suasana di masjidil haram sangatlah padat. Berdesak-desak an terjadi dimana-mana. Dihalaman. Di pintu. Apalagi di lokasi tawaf...
Seusai shalat Isya-sebelum memulai tawaf kami mensurvey dulu. Uhm, dimana sekiranya yang kami bisa melakukan tawaf. Pelataran kabah terlalu rapat. Berdesakan dan nyaris tak bergerak -saking lambatnya. Lantai dua kayaknya oke nih...
Jam delapan kami mulai tawaf. Kondisi begitu sesak!! Walau bibir membaca dzikir, namun sulit banget buat khusuk. Tawaf di lantai dua yang punya jarak tempuh sekitar 800 meter sekali putar aja berjalan lambat.
Yang sulit, kita yang sedang tawaf suka banget ketabrak kursi roda dari belakang… Allahu Akbar!! Sakit you now..!! Lho kok ? Uhm, setahuku kan ada jalur khusus kursi roda, jalan melingkar berpagar yang persis dibibir lantai dua, yang dibuat pas buat satu kursi roda. Kenapa bisa keluar jalur gini ??
Aku melongok kesana. Masya Allah !! Ibarat jalur bus way- jalur kursi roda itu macet total. Berhenti grek!! Waaah pantes pada pindah jalur ke jalur orang berjalan. Setelah tiga putaran kami memutuskan pindah ke lantai tiga..
Lantai tiga. Walau kursi roda tidak sebanyak di lantai dua, tantangan bertawaf di lantai tiga adalah anginya dingiiiin banget. Setelah dua putaran kami berhenti dulu mengambil nafas. Dilantai tiga putarannya berasa jauuuuh banget. Satu putaran 1000 meter.
Uhm, baru lima putaran nih. Kami melongok ke bawah, eh dilantai satu – dilingkaran luar pelataran kabah yang biasa dipake sholat, rada mendingan kosong tuh. Dengan naik tangga kami pindah kelantai satu. Putaran sih tetap jauh, tapi bergerak lebih cepat daripada yang dipelataran kabah. Hari udah malem tapi masih saja berdesakan.
Kami selesai tawaf pukul 10.30. Alhamdulillah selesai juga. walau butuh dua setengah jam untuk tujuh putaran mengelilingi kabah. Dengan jarak lintasan total +/- 7 km. Tiga lantai, semuanya dijalani.
Kami lalu sholat sunnah dua rakaat. Kemudian aku duduk selonjor dilantai masjid. Meluruskan kaki yang senut senut. Mengoleskan counter pain..cape!! Apalagi sejak di Mina telapak kakiku memang lecet. Pake kaos kaki dua lapis tidak terlalu menolong. Rasa perih tetap menyiksa.
“Ayo kita sai” ajak Ayah.
“Kalo besok aja gimana ?” tanyaku dengan nafas pendek pendek...duh? Capek banget!!
“besok pasti lebih penuh sama yang nafal akhir. Ayolah.. sai pendek kok” Ayah insist.
“uhm, berapa kilo?” ugh!! Otakku mampet!! Nggak bisa mikir!!
“nggak sampe tiga kilo. Lempar jumrah delapan kilo aja kuat. Masak tiga kilo lagi aja pake ditunda ?"
Mendengar "cuma" tiga kilo, aku jadi bersemangat. Aku bangun dan bersiap untuk sai.
Dilantai satu jamaah sangat padat. Sai berjalan timik timik. Kaki tak lagi bisa melangkah tapi diseret pelan mengikuti arus . Waah ? Nyaris nggak bergerak!!
Kami akhirnya memilih sai di lantai dua. Walau tetap berdesakan tapi tidak sepadat di lantai satu. Dilantai dua kursi roda tetap luber keluar jalur khusus yang disediakan ditengah lintasan sai.
Aku lebih semangat saat sai dibanding tawaf. Aku melupakan lecet kakiku. Aku mengabaikan kelelahanku. Kondisi begitu padat, sangat tidak mungkin sai sambil membaca buku panduan doa. Dengan bergandeng tangan-bukan sok mesra tapi takut ilang, saking penuhnya-Kami melafalkan dzikir dan doa doa sepanjang safa dan marwah pulang pergi. Semakin mendekati perjalanan ke tujuh, aku semakin antusias. Rukun dan wajib Haji kami akan segera terpenuhi.
Sai berakhir di bukit Marwah, lalu kami berdoa menghadap kabah sesuai buku panduan, yang artinya adalah (dikutip dari buku tuntunan doa dan dzikir ibadah haji-depag 2006)
Ya Allah ya Tuhan kami, terimalah amalan kami, berilah perlindungan kami, maafkanlah kesalahan kami dan berilah pertolongan kepada kami untuk taat dan bersyukur kepada-Mu. Janganlah Engkau jadikan kami bergantung selain kepada-Mu. Matikanlah kami dalam Iman dan Islam secara sempurna dalam keridha-an Mu.
Ya Allah rahmatilah kami sehingga mampu meninggalkan segala kejahatan selama hidup kami, dan rahmatilah kami sehingga tidak berbuat hal yang tidak berguna. Karuniakanlah kami sikap pandang yang baik terhadap apa apa yang membuat-Mu ridha terhadap kami. Wahai Tuhan yang maha pengasih dari segala yang pengasih.
Ritual selanjutnya adalah memotong sedikit rambut sebagai syarat tahalul akhir. Di pintu keluar bukit marwa, kami celingak celinguk. Uhm minta tolong siapa ya untuk mengunting rambut?? Bapak bapak Itu kayaknya orang orang Indonesia deh…kami mendekati mereka. Tapi kok Bapak bapak itu sedang digunting rambutnya sama seorang Ibu-kelihatannya pembimbing KBIH. Uhm, kami nggak sreg ah... kami urung untuk mendekat.
Akhirnya kami prefer mendekati sepasang suami istri Malaysia. Mereka sudah bertalalul dan bersedia membantu memotongkan sedikit rambut kami sebagai syarat bertahalul akhir. Ayah dan pakcik, aku dan makcik itu saling bersalaman dan berpelukan hangat.” Mabrur..Mabrur…” kata suami istri Malaysia itu. Kami tersenyum lebar dan berucap “Insya Allah…Thank you ...pakcik !! Thank you ..makcik!!”.
Alhamdulillah. Rukun dan wajib haji telah kami penuhi. Sungguh, lega rasanya. Adalah suatu kebahagian tersendiri bisa memenuhi kewajiban rukun Islam yang kelima
Uhm, terselip sebuah niat dihati, untuk memulai hidup yang baru. Hidup yang lebih baik. Hidup yang lebih lurus. Hidup yang lebih dekat dengan ridho-Nya.
Epilog-catatan tentang bertahalul.
Memotong sedikit rambut adalah syarat bertahalul. Seorang perempuan teman sekamar yang ilmunya bagus punya pengalaman menarik. Saat itu dia melihat beberapa bapak bapak Indonesia sedang dipotongkan rambut oleh seorang perempuan berumur -uhm keliatannya sih pembimbing KBIH.
Seorang laki laki Turki yang kebetulan lewat dan melihat kejadian itu berseru “haram..haram..” pada mereka. Merasa sebagai satu bangsa, temanku itu mendekat dan memberitahu baik baik “Ibu…tahalul ada aturannya. Perempuan tidak boleh memotong rambut laki laki.. apalagi bukan muhrim"
Ibu itu malah tertawa mengejek “ Ah, saya kan udah berapa kali haji…ngga pa pa kok..” Ya..sutralah. Temanku itu malas berbantah. Walallahualam bi shawab.
Well, jika ada orang yang berseru “haram...haram”..pada kita. Marilah kita instropeksi diri. Apakah yang salah dengan diri kita. Apakah yang salah dengan pemahaman kita selama ini. Terbukalah untuk semua input. Kita memang perlu terus belajar. Kita memang perlu terus saling mengingatkan. Semua demi kebaikan bersama.
No comments:
Post a Comment