A. Saat aku masih kuliah : Tentang Bapakku
"Adil tidak berarti selalu sama" begitu yang diucapkan Bapakku. Aku hanya bisa bengong . Tertegun. Ini adalah konsep adil yang baru untukku. Berbeda.
Itu adalah respon Bapak saat aku protes. Mengapa jatah uang bulananku paling kecil dibanding Mbak Ary, Bram dan Dian? Dan Bapakku bilang.”Adil itu berarti sesuai kebutuhan. Bogor dekat. Kamu bisa pulang kapan saja jika memang kamu butuh tambahan. Kamu jarang sakit seperti mbak Ary yang asmanya sring kambuh. Kamu tidak kuliah di swasta seperti Dian.”
Tapi tetap saja aku cemburu. Merasa diperlakukan tidak adil. Mentang-mentang aku kuliah dekat? Aku jarang sakit ? Aku kuliah di institut negri ? enampuluhribu sebulan?! Mepet banget!!
Aku masih terlalu muda untuk mengerti bahwa masa itu begitu berat buat Bapak. Bapakku pegawai negri. Kami berempat nyaris sebaya. Kami berempat kuliah dan kost di empat kota yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Saat itu aku belum bisa menyadari, betapa sulitnya mengatur budget untuk kami. Aku masih terlalu muda untuk bisa memahami.
Sampai kini aku tidak akan lupa pada konsep “Adil tidak berarti harus sama”
B. Saat aku dewasa: tentang teman-temanku
Aku dan teman-teman hangout di Citos. Kami berlima. Semua sudah menikah. Aku perempuan satu-satunya disitu. Teman pertama bilang “Gue sudah pernah mendiskusikan soal istri kedua sama istri gue. Tapi gue merasa belum bisa adil” Hm. Apa sih adil menurut mereka ?
Kami berdiskusi. Aku sampai pada pemahaman, bahwa menurut teman-temanku itu adil bukan saja memberikan sama untuk materi, tapi juga waktu dan perhatian yang sama buat dua keluarga.
Temanku yang kedua bilang ”Gue juga pernah mendiskusikan soal istri kedua sama istri gue. Dan dia nggak setuju”. Walau banyak yang bilang, jika seorang istri mengikhlaskan suaminya menikah lagi akan mendapat tempat di surga, istrinya tetap tidak setuju.
Kita berlima dulu sekelas bareng jaman kuliah di IPB. Aku menikah duluan, aku punya umur perkawinan yang lebih panjang. Aku punya suami yang empat tahun lebih tua dari mereka. Topik istri kedua pastinya sudah masuk wacana. Makanya aku bilang “Samalah, gue juga nggak setuju.”
Istri kedua ? Berbagi suami ? waduh ? apa iya gue bisa ? Walau dijanjikan surga di kehidupan kelak, Apa iya gue bisa menjalani neraka dikehidupan kini -jika gue harus berbagi suami?!.
Teman ke tiga dan ke empat cuma ketawa. Mereka tidak pernah membayangkan punya istri kedua. Itu suatu hal yang tidak pernah didiskusikan dengan istri masing-masing.
Aku menoleh. Memandangnya baik-baik. Penasaran. Bertanya sedikit mendesak “kenapa nggak dibahas ? Takut jadi ribut ?” tanyaku pada laki-laki yang duduk disebelah kananku. Actually we close each others. He's one of my best friends.
Dia ketawa “Nggak. Bukan. Nggak pernah terpikir aja punya dua istri”. Aku cuma tersenyum dan membatin. Well, mungkin dia tidak siap berdiskusi tentang konsep adil dan istri kedua.
Dalam perjalan pulang aku merenung. Tentang dua konsep adil yang kuketahui. Adil bisa sangat subjective. Bisa sangat relatif. Menurut siapa ? menurut standar apa ?
Apalagi jika diaplikasikan ke konsep istri kedua. Konsep berbagi suami. Aku percaya setiap perkawinan punya keunikan, dan ini akan menambah kerumitan konsep adil itu. Menurut siapa ? menurut standar apa ? Wah, ternyata konsep adil dan istri kedua bukan hal yang mudah. Its complicated u know…
2 comments:
...seharusnya pemahamannya akan lebih mendalam jika, kita sudah memiliki contoh sukses yang bisa meng-admire hidup kita, seperti Bp. Tifatul Sembiring... salam teriring doa...
Ha.ha.istri kedua..top lah.
Gw lagi mikir, kalo saat ini yang gw pikirin bukan istri kedua lagi ...tapi istri keempat.
Susah ngejadwalinnya, kalo pengen nambah pasti ngegang jadwal yang lainnya ...ha..ha..nambah makan maksudnya.
Konsep adil adalah cara pandang, semua yang ada di dunia ini bersifat fana dan relatif. Jadi kalo mo nyari adil itu apa hanya DIA yang Mengetahui dan Memiliki.
Semoga kita didekatkan dengan pemahaman yang diharapkan NYA ...amien
Post a Comment