Thursday, October 09, 2008

Laskar Pelangi - The Movie

Banyak Film dibuat base on novel. Namun tidak semua bisa setia pada cerita aslinya. Film Ayat Ayat Cinta yang fenomenal pun melenceng dari bukunya, terutama di bagian menjelang ending, dan itu menurutku sangat disayangkan karena jadi Raam Punjabi bangeed-sebelas duabelas dengan mutu sinetron di layar gelas kita.

Walau tetap sih angkat topi-saluuut- buat Hanung Bramantyo dan team untuk kerja kerasnya mewujudakan novel itu ke layar lebar-dan laris!! itu kerja keras yang luarbiasa.

Kalo pembandingan Novel ps I love you dan filmnya, bagus novelnya. Jika Buku spiderwick dan filmnyanya, bagus filmnya. Untuk Laskar Pelangi, bisa dibilang seperti Harry Potter. Sama-sama bagus.

Menurutku tantangan terbesar mengangkat buku ini ke layar lebar adalah karena novelnya berisi monolog panjang yang cerdas dan memikat, yang memang menjadi daya tarik utama buku ini. Andrea Hirata pelit membangun dialog antar tokohnya, karena asyik bercerita tentang detail banyak hal. Sedang sebuah film butuh dialog antar tokoh agar tidak membosankan. Namun luar biasa-ditangan seorang Riri Reza-film Laskar Pelangi bisa begitu menarik. Its very touching you know. Mbrebes mili. Menguras airmata. Hiks. Baik buku dan Filmnya masing masing jadi punya daya tarik tersendiri.

Aku sempat tertegun saat datang ke Citos21, 45 menit sebelum film mulai dan ternyata sudah sold out. Beli tiket jam tayang berikutnya yang berarti musti tunggu 45 menit plus 120 menit membuat anak anak bete. Tapi gimana lagi? Itupun sudah dapat duduk, dua row dari depan! Wow..padahal ini hari pertama tayang di jaringan cinema21, kupikir belum banyak yang ngeh. Rupanya-seperti juga film Harry Potter-banyak orang sudah menunggu film itu dirilis. Akankah sebagus bukunya yang best seller?

Sepuluh orang anak local Belitong tiba tiba ngetop. Setelah melalui proses casting yang ketat, mereka mendadak jadi bintang utama film ini. Walau ada Sepuluh anak, cerita lebih focus pada tida anak utama : Ikal-yang merupakan personifikasi dari Andrea Hirata-himself, sang genius Lintang dan seniman cilik nyentrik Mahar

Pilihan produser yang pintar, karena sangat terlihat mereka memang pas untuk peran peran di buku itu . Tubuh yang ceking dan hitam khas anak kepulauan yang kaya akan hasil tambang, mungkin sulit ditemukan jika casting diadakan diantara anak anak yang biasa main film metropolitan sepeti “liburan seru” or even “petualangan sherina” atau “untuk Rena”. Sebagai actor dadakan perlu dipuji mereka bermain bagus. Begitu menjiwai.Seakan memang itulah kisah keseharian mereka.

Jika peran anak anak tidak mengandalkan artis cilik popular. Peran orang dewasa justru bertabur bintag. Cut Mini bermain hebat sebagai bu Muslimah, yang merupakan tokoh dewasa paling penting di kisah ini. Ikranegara sebagai kepala sekolah SD Muhamadiah Gantong yang nyaris rubuh, didampingi istrinya yang diperankan Jajang C. Noor. Mathias Muchus dan Dyah Pitaloka sebagai orangtua Ikal. Alex Komang, sebagai orangtua tunggal Lintang, Robby Tumewu sebagai babah pemilik toko sinar harapan. Slamet Rahadjo Djarot sebagai penilik sekolah. Tora Sudiro sebagai guru SD PN Timah. Juga Lukman Sardi sebagai Ikal dewasa yang cuma muncul diawal dan diakhir film.

Melihat dari pilihan pemaninnya saja, menunjukan film ini digarap serius . Masih ditambah pemanis OTS “Laskar Pelangi” yang dinyanyikan Ndiji, dengan beat yang Ndiji banged. Eh?Ndiji itu konon juga bahasa jepang dari pelangi, lho..

Bukunya lebih detail dari filmnya-for sure. Lebih menyentuh, lebih seru, lebih jenaka - Namun seorang Riri Reza mampu memvisualisasikan beberapa bagian dengan penuh kejutan yang mampu memancing komentar dan emosi dari barisan penonton. Mereka hanyut dan ikut berseru..aaah..uuuuh..tertawa getir dan meneteskan air mata haru ditengah gelap ruang bioskop. Membuat filmnya punya nilai plus juga dibandingkan bukunya.

Sedikit mengutip kritik yang kubaca di Kompas Riri Reza terlalu berusaha setia pada bukunya, sehingga ada beberapa adegan yang sebetulnya kurang nyambung, dibuangpun tak terlalu berpengaruh. Well, kayaknya Riri Reza berusaha setia mati mengadaptasi buku Andrea Hirata dan tak ingin penonton kecewa sedikitpun, dengan kerjakerasnya yang luarbiasa.

Apakah ini film anak anak? Walau ditulis semua umur, menurutku film ini lebih pas ditonton dewasa, remaja, dan anak anak diatas 10 tahun yang sudah bisa memahami pesan filosofis yang sarat dimuat dalam film ini.

Ini adalah cerita tentang pahit kemiskinan, yang butuh dientaskan dengan kesempatan pendidikan yang didukung idealisme tinggi. Tentang kaum marjinal yang nyaris terabaikan namun punya semangat mengejar pelangi. Bersama sebungkah mimpi, akan sepotong cita cita untuk kehidupan yang lebih baik.

Realistis. Touching. Inspiring…bahwa kesempatan mendapat pendidikan yang setinggi tingginya adalah cara mengentaskan bangsa kita tercinta ini dari rantai kemiskinan berkepanjangan. Well, ya itu sih mungkin Pe-eR untuk para pejabat negeri ini.

Sedang bagi kita, setidaknya film ini mengingatkan untuk selalu berucap syukur, Alhamdulillah- untuk pendidikan sampai jenjang diploma, sarjana, master, doctoral yang telah kita raih– juga mengugah kita untuk sedikit perduli akan nasib pendidikan anak bangsa sendiri. Karena di tangan mereka masa depan bangsa ini ditentukan...

No comments: