Thursday, August 28, 2008

Happy is my Right.

Prolog: Saat Raker nasional bulan Maret lalu, NSM di kantor memberiku mouse pad dari merchandise motivator terkenal Adiwongso, text yang tertulis di mouse pad berwarna hitam itu adalah : Success is My Right.

Adalah Verra, seorang junior di kantor yang mengingatkan aku tentang satu hal lain, Happy is my Right. Verra yang selalu take it easy, senyam senyum, nyanyi-nyanyi, becanda dan guyon bahkan disaat yang menurutku tidaklah tepat untuk itu. Banyak sudah teguran, kecaman yang terlontar dari bibirku yang tipis sinis untuk sikapnya. Padahal kalo dipikir, dia satu satunya hiburan diantara team Brand yang jarang senyum dan most of the time bertampang masam, tepatnya seperti diriku.

Ditengah banyak hal yang bikin sakit kepala. Banyak urusan kantor yang bikin sesak didada. Senyum jadi hal yang mahal buatku. Bahagia jadi hal yang tak terpikirkan lagi. Sampai dengan Verra mengingatkan “ Happy is my right”, and that’s encourage me to strict on my decision to resign.

I try hard to enjoy my job, I love my career, I like the challenge, but somehow the reality not running as good as we plan, and drug me down. De-motivated. Frustrated. Whatever it call, and Verra remind me to the new thought “ Happy is my right”. So, daripada depresi berkepanjangan, aku memutuskan untuk quit. Bagaimanapun, aku berhak untuk bahagia.

“Mbak Bahagia? “ tanya Verra, disatu kesempatan makan malem bareng, setelah aku memutuskan resign.
Aku terdiam panjang sebelum menjawab “ Gue bahagia karena gue berusaha bersyukur”
“Kenapa Mbak terlihat ragu? Kakak Iparku selalu menjawab spontan . aku bahagia!!”

Pandanganku menerawang jauh sebelum menjawab “Pastinya kakak iparmu lebih pandai bersukur dibanding gue, Banyak hal dalam hidup ini berjalan tidak seperti yang gue mau, kalo inget itu sedih juga sih. Tapi sungguh terlalu kalo gue tidak bersyukur dengan apa yang gue masih punya sekarang. Dan gue bahagia untuk itu..

Happy is my right. Happy is everybody right. Makanya disaat seorang Verra yang selalu ceria merasa terpuruk. Giliranku untuk mengingatkannya, selain urusan pekerjaan-banyak hal didunia ini yang patut disyukuri, keluarga, kesehatan, dan kehidupan itu sendiri, yang insya-Allah bisa menyadarkan diri bahwa sesungguhnya kita bisa merasa bahagia dengan apa yang kita punya kini.

Bahagia, tidak ditentukan oleh orang lain, begitu kata seorang sahabat. Kita yang menentukan kebahagiaan kita sendiri. Well ya, thanks for sharing with me. At least sekarang aku bisa lebih bersyukur punya beberapa sahabat, dan segudang teman yang selalu saling mengingatkan tentang hakikat kebahagiaan, Alhamdulillah.

2 comments:

Anonymous said...

hi Mbak.. gimana akhir ceritanya setelah resign? apakah happy ending? atau malah borring kah? maaf ya mbak cuma ingin tahu aja apakah hal itu menjadi penyesalan?.. aku juga baru mau resign meninggalkan posisi dan salary yang lumayan, rasanya alasannya sama, sudah ngga menemukan passion dalam kerjaan, rasanya kerjaan jadi sangat engga penting lagi -padahal aku karyawan yg berprestasi loh-, tapi passion itu tiba2x hilang begitu saja, aneh memang (mungkin karena aku lagi hamil anak kedua ya?!) heheheh maaf ya jadi curhat.. cuma penasaran aja apakah hal tsb tepat? egois kah? apakah ada penyesalan? from: febrinilac@yaho.com

Shanty Pramono said...

Salam kenal mbak,seneng bgt baca tulisan mbak,lucu,menyentuh,memotivasi,menyemangati..gmn kondisi t'kini stlh resign? Aq jg pernah dlm posisi mbak,dan skrg dah 6 thn aq menjalaninya..ada kalanya timbul penyesalaan saat aq lg bosen dan merasa mentok dg keseharian aq..tp kesini2 aq dah mulai pinter dg mengantisipasi perasaan2 itu muncul..caranya..aq mesti tau batasnya aq..mknya aq ngimbanginnya dg pilihan kegiatan lain..untungnya suami dan anakku mendukung dg memberi aq wkt utk itu...dan aq sgt bahagia dg aq yg skrg..total utk keluarga..sama mbak, ibu biasa yg sgt mencintai anak yg sgt luar biasa..sukses ya mbak, salam utk keluarga..