Pak Karom Pusing. Pembagian kamar belum juga kelar. Pak Karom minta bantuan ayah- sebagai karu “kesayangan” mengurus pembagian kamar. Kutak kutik diatas kertas. Lalu beberapa orang diminta pindah. Malam pertama di Mekkah sudah berlalu ternyata masih ada ketidakpuasan, ditandai dengan tidak ditempatinya kamar yang sudah disediakan.
Pak Karom pening. Para Karu kewalahan. Kutak kutik bukan lagi diatas kertas. Bebarap ranjang dipindah. Beberapa kamar berubah kapasitas. Walau ada yang mengeluh “pindah pindah mulu kayak kucing beranak…!!” tapi semua diminta keikhlasanya untuk pindah. Kepindahan ini bisa terjadi 2 – 3 kali lho!! Weiks!!
Pembagian kamar memang njelimet. Butuh kebesaran hati. Butuh banyak keikhlasan. Pada akhirnya, butuh sedikit otoriter. Kalo nggak..kapan kelarnya ??
Well, walau aku termasuk beruntung tidak mengalami perpindahan kamar (thankyou honey hi…hi…) seperti teman teman lain namun kamarku di Mekkah sebetulnya juga tidak istimewa.
Kamar sepuluh meter persegi tanpa jendela itu hanya berisi empat buah tempat tidur besi plus kasur, sebuah karpet yang berdebu, plus sebuah AC. Semula kami berlima di madinah, Saat di Mekkah salah satu anggota regu kami tergusur. Sekamar dengan regu berikutnya
Melihat ekspresi di wajah temen teman sekamarku. Aku tau kamar ini terlalu sederhana untuk standart mereka. Disaat banyak kamar punya kamar mandi didalam, kamar kami hanya punya kamar mandi luar yang disharing dengan 5 perempuan di kamar sebelah. Aku berusaha mencairkan suasana dengan bilang “Waaah…kalo kamar kita kondisinya gini, kayaknya supaya kita lebih rajin iktikaf di masjid deh..” teman teman cuma menangapi dengan tersenyum tipis.
Kalau ada hal lain yang patut disyukuri, dalam rombongan kami hanya kami berempat yang punya suami juga bisa sekamar berempat. Mereka menempati kamar diujung lorong yang lebih fresh, karena apunya ventilasi dan view lapang menghadap ke perkuburan Makla. Uhm, selama perjalanan ibadah ini, kita memang harus pandai bersyukur, untuk apapun yang kita dapatkan.
Gara gara kamar kami sumpek tidak berjendela. 24 jam sehari tak ada bedanya. Ada kejadian lucu saat perempuan tertua bangun pukul 4…
”Hei..nggak pada subuhan ke Harom..hayo bangun..bangun…”
Aku tertawa keras saat bangun dari tidur. “Mbak…emang magrib jam berapa ?” tanyaku mengoda.
“kok magrib sih ?? Bukannya nya ini pagi ?? Tanya si Mbak linglung
Kedua teman yang lain segera bangun dari tidur siang dan ikut tertawa.
Masya Allah!! Jam 4 sore kok dibilang jam 4 pagi!!
Kami memang bisanya cuma tidur dalam formasi lengkap berempat dimalam hari. Jarang banget tidur siang bisa berjamaah berempat seperti saat itu. Makanya si Mbak tertua confuse, ini 4 siang apa 4 pagi ?? Apalagi saat itu lampu kamar dimatikan. Perempuan tertua di kamar kami itu langsung beristigfar “astagfirullah al adzim…padahal saya tadi mau keluar kamar cari kopi tapi takut..saya pikir masih pagi buta”
Kami tertawa bersama dalam sebuah kamar sempit tanpa jemdela. Disini 24 jam sehari terasa sama!! Well, sudahlah. Kami berusaha tetap bersyukur.Kami berusaha ikhlas dengan kondisi yang ada. Kami menikmati sebuah kamar sumpek tanpa jendela. Disini 24 jam terasa sama, namum kecerian selalu ada..
Epilog-Homesick
Aku menerima sms dari dian “kalo sampe Mekkah. Mamah minta ditelp”
Uhm, mungkin mamah kangen kali. Makanya hari kedua di Mekkah aku menelphon condet dari mahtab. Ternyata Bapak yang megangkat
“kowe manggon nyang ndi nduk ?” tanya bapak
“shieb amir. Ngarepe makam makla”
“ketoke..mbiyen bapak yo nang kunu…cedake masjid Jin tho?”
“oh nek ngunu, mahtab bapak mbiyen, sabrange mahtabku saiki” “yowis..nyang kunu penak..nduk, iso mumpak angkot..harom..harom..satu real..”
Bla..bla..bla kami masih ngobrol tentang beberapa hal lain.
Uhm, ternyata Percakapanku dengan Bapak di Jakarta membuatku homesick. Saat ashar di masjidil Haram, aku berkaca kaca saat memanjatkan doa..
rabbanaghfirlana waliwalidaina warhamhuma kama rabbayana saghira
No comments:
Post a Comment