Tuesday, July 18, 2006

Tears on My Wedding Day

Prolog
Saat aku remaja, seorang Bude pernah sharing kenangan.
“saat kamu masih kecil, kowe nate crito karo aku
Soal ? tanyaku heran
Kowe crito ngene “Bude, kenapa kalo Bapak pulang dinas luar kota. Baru sampai pagar Bapak pasti sudah panggil ...Ary !!”
Dinas luar kota memang selalu indentik dengan oleh-oleh.
Terus ? tanyaku masih heran
Teruse kowe ngomong ngene “Tapi kalo Bapak lagi istirahat di kamar, dan terdengar ada yang berantem, Bapak pasti panggil “Bintari!!”
Emangnya aku selalu identik dengan keonaran ?
Bude tertawa. Saat itu aku cuma nyengir. Well, ternyata perasaan ini sudah aku rasakan sejak aku anak-anak. Dengan bahasa yang polos, aku sudah bisa complain ke Bude Tik-Kakak Perempuan Bapak.


Bapak menangis di hari pernikahan mbak Ary, sejak acara siraman. Bapak menangis saat mbak Ary sungkem. Meminta restu. Kami semua memang menangis saat itu. Terharu.
Bapakku orang yang tegar, dan hari itu beliau menangis cukup lama, saat putri sulung kesayangannya meminta restu untuk menikah.

Sebelumnya aku pernah baca artikel. Kedekatan seorang Bapak dan anak perempuannya bisa diukur saat mereka meminta restu untuk menikah. Jika sang Bapak menangis, berarti dia sangat menyayangi putrinya itu. Artikel yang berkesan buatku.

Aku menikah setahun kemudian. Walau Mamah menangis sambil memelukku saat aku sungkem, tapi Bapak tidak menagis. Aku sendiri menangis cukup lama, karena aku meminta restu dan maaf atas semua kesalahanku tapi-aku ingat- Bapak tidak menangis.

Aku berusaha berbesar hati dengan berpikir positif. Mungkin ini adalah moment mantu yang kedua, sehinga Bapak sudah lebih pengalaman untuk tidak menangis. Mungkin karena aku menikah dengan laki-laki yang begitu disayang Bapak-He knew that I married with the right man- jadi Bapak merasa tidak perlu menangisi. Mungkin karena aku memang pribadi yang cuek, sehingga Bapak merasa aku tidak perduli jika Bapak tidak menangis. Tapi ternyata, aku perduli. Aku selalu ingat.

Empat tahun kemudian. Dian menikah-melangkahi Bram. Di Acara siraman, Bapak menangis saat Dian sungkem. Bapakku menangis saat putri bungsu kesayangannya itu meminta restu untuk menikah.

Membuatku kembali tak habis pikir. Kenapa Bapak tidak menangis di hari pernikahanku ??

Setahun setelah Dian. Bram menikah. Walau Mamah, Mbak Ary, Aku dan Dian menangis terharu, tapi Bapak tidak menangis. Bapak justru banyak tersenyum. Bangga dan Bahagia. Pernikahan Bram memang menuntaskan kewajiban Bapak untuk menikahkan kami anak-anaknya.

Tapi aku masih juga tidak puas, masih penasaran. Mengapa Bapak tidak menangis di hari pernikahanku ? Aku kan tidak sama dengan Bram. Aku anak perempuannya. Sama dengan Mbak Ary dan Dian. Menangis bukan hal yang bisa direkayasa atau dikontrol. Menangis adalah dorongon emosi yang jujur. Tentang seberapa besar kesedihan yang kita rasakan.

Bapakku kini menikmasi hari tuanya yang tenang bersama Mamah. Dan aku tidak berani bertanya, mengapa Bapak tidak menangis di hari pernikahanku? Biarlah ini menjadi pertanyaan panjang tak terjawab. Yang terus bergema dalam ingatanku. Entah sampai kapan :-(

1 comment:

Anonymous said...

Mbak... tau ngga??.. gmn mengutarakan kata2 yg bikin haru sama org tua untuk minta ijin nikah pd saat mau ijab kabul??,,, msh ada teks nya ngga???,,, kl ada .. aku mau dooongg.... kirim ke imel ku aja ya mbak...

dian@bakriesumatera.com

Tengkyu ya mbak.. & salam kenal