Sunday, January 21, 2007

Umrah, Sebuah penghayatan terhadap Tawaf dan Sai

Setelah satu setengah kilo berjalan kaki, tampaklah di depan kami masjidil Haram dengan kabah nya. Beberapa anggota rombongan kami berkaca kaca. menangis haru, termasuk ayah.
Uhm, saat itu aku heran dengan diriku sendiri....
Jika di masjid nabawi aku bisa tersentuh. Menangis haru saat pertama datang. Mengapa disini, di tempat dimana begitu banyak orang ingin datang beribadah- aku merasa plain-biasa biasa saja ??

Karena kami haji mandiri, kami dipersilahkan melaksanakan ibadah sendiri sendiri sesuai ilmu yang didapat saat manasik. Aku digandeng ayah segera tawah mengelilingi kabah. Walau bibirku membaca dzikir tapi hatiku merasa kosong. Aku tidak bisa menghayati makna mengelilingi kabah. Padahal saat itu ayah berkaca kaca sambil berdoa...Rabbana atina fid-dun-ya hasanatan wa fil akhirati hasanatan wa qina azaban-nar.

Namum entah kenapa… Aku kok tetap merasa hampa. Well, sebetulnya tawaf adalah ibadah fisik mengelilingi kabah, tanpa membaca apapun tawafnya tetap sah. Tapi aku tau, pasti ada yang salah dengan diriku… tujuh putaran berakhir dalam tempo setengah jam. Terhitung cepat karena walau sudah ribuan jamaah disana, kondisi ini masih dibilang longgar dan kosong.

Kami shalat dua rakaat setelah tawaf di pelataran kabah. Tak lama Adzan sholat dzuhur terdengar, kami mencari tempat dilokasi sholat dan ikut sholat berjamaah.

Setelah sholat, kami meneruskan rukun umrah berikutnya yaitu sai. Karena kondisi belum penuh, ayah masih bisa berjalan dari bukit safa ke marwa sambil membaca buku doa keluaran depag yang dibagi saat manasik. Aku cuma meng"amin"i. Mungkin karena terlalu cape ya..aku sama sekali ngak bisa khusuk dan konsentrasi. Aku merasa cuma seperti karung beras 60 kg yang diseret ayah dari marwa ke safa pulang pergi. walau sebetulnya sai adalah ibadah fisik , berjalan dari bukit safa ke marwa pulang pergi tujuh kali tanpa membaca apapun, sai tetap sah. tapi aku tau, pasti ada yang salah dengan diriku…

Ritual sai segera selesai . Jarak tempuh marwa safa sejauh 400 m X 7 kali = 2.8 km ditempuh cepat. Nggak sampe satu jam kelar. Kami meuju halaman masjid dan bergabung dengan sebagian teman serombongan yang bisa kami temui kembali. Mereka yang sudah duluan tahalul, yaitu dengan memotong sedikit rambut, membantu memotongkan rambut kami. Pak Somad memotong rambut Ayah. Bu Yayah memotongkan sedikit rambutku.

Setelah itu kami semua baru merasakan kelelahan yang luar bisa. Setelah semalaman 8 jam perjalanan naik bus. Sejak tiba kami tidak sempat sarapan. Makan siang juga nyaris terlupakan!! Segera kami mencari rumah makan yang terdekat dengan masjid. Setelah makan, adzan terdengar, memanggil kami kembali ke masjid untuk sholat Ashar. Setelah sholat kami segera pulang ke penginapan. Istirahat.

Walau fisikku beristirahat tapi pikiranku tetap terjaga. Ada satu keheranan yang amat sangat besar mengejarku. Whats wrong with me ?? Why I feel so empty ??

Dikamar segera ku baca lagi buku buku manasik hajiku. Kupinjam buku buku milik teman sekamarku yang lebih berbobot tentang hakekat Haji dan Umrah. Kubaca dan kuresapi baik baik. Jika sebelum ini aku hanya seperti membaca teori. Kali ini aku coba menghubungkannya dengan pengalaman nyataku di masjidil Haram barusan. Apakah makna Tawaf... Apakah makna Sai...Sulit bagiku untuk khusuk menjalani ritual tanpa memahami makna dibalik itu.

Astagfirullah al adzim.. astagfirulllah al adzim... aku banyak beristigfar... Sebetulnya aku sudah sering membaca buku buku manasik itu sebelum sampai ke mekkah tapi tidak terbayangkan bahwa kondisinya akan seperti itu. Kini, dengan sudah melihat dan menjalani sendiri aku baru tau makna yang lebih dalam dari yang ditulis dibuku buku itu. Terselip rasa sesal. Aku belum melakukan yang terbaik. Aku ingin melaksanakan umrah lagi.

Kesempatan itu datang dua hari kemudian. Untuk memberikan kesempatan kepada teman teman yang belum umrah saat kedatangan karena sedang menstruasi. Rombongan kami mengadakan umroh lagi dengan mengambil Miqot terdekat di Tan’im hanya 6 km dari Mekah. Dari 45 orang rombongan kami, hanya 30 orang yang ikut dalam mini bis yang dicarter rombongan.

Kali ini dengan persiapan fisik yang lebih baik karena cukup istirahat, cukup makan, dan hari masih pagi, aku kembali digandeng ayah untuk tawaf....dan saat itu aku memangis saat mengelilingi kabah sambil berdzikir. Ditengah tengah ribuan orang yang bertawaf bersamaku…aku justru merasa ….Allah dan para Malaikat-Nya…hadir disitu..

Aku menangis memandang kabah yang begitu dekat. Aku menangis disaat tawaf dan memanjatkan doa....Rabbana atina fid-dun-ya hasanatan wa fil akhirati hasanatan wa qina azaban-nar.

Jadi, apapun problemmu bisikanlah… Apapun keinginanmu… sampaikanlah… apapun harapan sebutkanlah… apapun permohonanmu ucapkanlah… percayalah... Allah terasa begitu dekat... you know…

Tawaf di umrah yang kedua itu aku bisa begitu dekat dengan maqam ibrahim, dan sempat melonggok batu itu, namun karena kondisi yang begitu sesak kami kembali ke lingkaran luar yang lebih longgar

Seusai tawaf kami shalat dua rakaat dengan dengan lebih baik, karena kondisi tidak serame umrah kami yang pertama.

Ritual sai juga berjalan lebih baik. Walau aku tidak menangis tapi aku lebih bisa menghayati perjuangan Siti Hajar saat mondar mandir antara safa dan marwah untuk mencarikan bantuan untuk Ismail tercinta. Karena kondisi masih belum berdesakan, masing masing kami masih bisa sai sambil membaca doa dengan membaca buku panduan doa yang dikeluarkan depag.

Alhamdulillah aku bersyukur. Aku merasa umrah-ku kali ini lebih bermakna. Berikutnya, tak henti hentinya aku berdoa semoga Allah berkenan menerima ibadahku itu.

No comments: