Back to jaman gue masih ngantor di dekat bunderan HI.
"Kok lu nggak pake cincin kawin? Biar dikira masih single ya?! Begitu kata seorang laki-laki teman sekantorku. Glek!! Aku tertegun sesaat. ih usil banget sih ?! Tapi aku lalu berusaha tertawa “Dengan penampilan yang kayak emak-emak gini. Apa iya masih ada yang berpikir gue single ?!” begitu jawabku enteng.
Berbeda dengan kantor pertamaku yang majoritas perempuan. Kantor keduaku ini memang didominasi laki-laki. Hampir semua laki-laki teman sekantorku itu adalah Family Man. Mereka memakai cincin kawin di jari manis tangan kanannya. Seberapa penting sih pake cincin kawin?
Aku jadi ingat cerita seorang perempuan teman di kantorku yang pertama, dia bilang gini sama suaminya “Pa, aku bosen nih pake cincin ini” sambil memperlihatkan cincin kawin berlian miliknya. “Trus ? suamimu bilang apa ?” tanya kami.
“Hush!! Bagaimana pun juga itu cincin yang dibekati pendeta saat kita menikah” begitu kata temanku menirukan ucapan suaminya.
“Ah bilang aja lu minta dibeliin yang lebih bagus “ kata kami mengoda.
“he..he..ya sih”kata temanku itu.Kami tertawa
Diberkati pendeta. Hm, suatu alasan yang masuk akal.
Aku lalu ingat adik perempuanku. Dia apes. Angkot yang dinaikinya dirampok oleh orang-orang bersenjata pisau di daerah karet. Dia kehilangan beberapa perhiasan. Yang paling disesali adalah cincin kawin beliannya ikut dirampas.
Hm, sayang sekali memang, karena cincin kawin tidak pernah bisa tergantikan.
Back to me and my wedding ring
Aku juga jadi ingat cerita Eddy dan teman sekantornya yang pertama
"Selamat ya Ed, gue dengar lu tuker cincin"
Eddy menjawab "thanks"
“Tapi mana cincin nya ?” tanya teman perempuannya itu heran melihat Eddy nggak pake cincin. Eddy becanda “lha gue kan…tuker cincin …sama beras!!” Mereka tertawa.
“laki-laki nggak boleh pake perhiasan emas”begitu yang diyakini Eddy. Jadi sejak kita tunangan lalu menikah, cincin emas belah rotan itu hanya tersimpan di laci lemari.
Aku sendiri sempat memakainya beberapa tahun. Tapi sebetulnya ribet. Karena aku tidak betah memakainya sepanjang hari. Sebelum berangkat ke kantor aku pakai, setelah pulang aku lepas lagi. Suatu rutinitas yang sama dengan arlojiku.
Saat aku hamil Aim aku kelebihan asupan garam, jari kaki dan tanganku bengkak. Cincin kawin itu tidak lagi muat. Aku menyimpannya di laci lemari kamar. Sejak saat itu cincin itu sudah tak pernah kupakai lagi.
Aku bukan mencela laki-laki yang memakai cincin kawin sebagai laki-laki yang ISTI– ikatan suami takut istri. Tapi aku juga tidak menilai jika laki-laki memakai cincin kawinnya akan lebih baik, karena berarti dia memiliki commitment perkawinan yang lebih baik. No, tidak seperti itu. Tidak selalu seperti itu.
Bagiku memakai cincin kawin atau tidak adalah preference. Seperti halnya pilihan laki-laki untuk memakai kemeja putih arrow ke kantor setiap hari sepanjang minggu atau sebaliknya memakai kemeja kuning, tosca, beige, terracotta, dari beragam merk secara bergantian.
Yang menurutku penting adalah sebuah kejujuran. Jika orang bertanya status, sebaiknya dijawab jujur. Apapun itu. Married or single.
Aku dan Eddy sama-sama suka chatt di net. Walau chatt room adalah tempat dimana orang bisa menjadi apa saja dan siapa saja. Tapi kami selalu jujur soal status. Walau teman chatt kami di net tidak bisa melihat apakah kami memakai cincin kawin atau tidak, tapi kami selalu jujur bahwa kami menikah.
Menjadi single mungkin penuh dengan kebebasan-aku nggak tau persis krn aku menikah muda- tapi aku yakin menjadi perempuan menikah tetap pilihan yang terbaik. Aku selalu jujur akan hal itu, walau aku tidak memakai cincin emas belah rotan, cincin kawinku :-)
No comments:
Post a Comment