Monday, August 14, 2006

Pelajaran dari sebuah Anting-Anting

Saat Dian lahir. Bram berumur dua tahun. Aku empat dan Mbak Ary lima. Kami melihat ke dalam box di rumah sakit dengan antusias. Ini hari adik baru kami pulang kerumah.
Suster bertanya “Sudah sedia anting-anting, Pak ?“
Bapakku bilang “Sebentar”
Bapak lalu berlutut dan bilang pada mbak Ary “Nduk, anting-antingnya kasih adik dulu ya ? Nanti Bapak ganti”

Mbak Ary mengangguk. Anting-anting mbak Ary segera berpindah ke tangan suster, untuk dipakaikan kepada adik kecil kami yang baru lahir. Aku dan mbak Ary saat itu memang masih memakai anting-anting emas berbentuk sederhana. Bulat, tipis dan pipih seperti anting-anting bayi.Aku tidak tau apakah Bapak tidak sempat membeli anting-anting baru buat Dian, atau memang belum ada budgetnya.

Yang aku ingat, berikutnya kami bertiga selalu mempunyai anting-anting yang sama. Saat SD dan SMP kami memakai anting-anting emas dengan bentuk yang serupa. Saat remaja sampai kuliah kami memakai giwang dengan model yang sama.Setelah menikah. Baru kami memiliki giwang yang berbeda, sesuai preferensi masing-masing.

Well, buatku anting-anting Mbak Ary adalah kenangan, saat Bapak mengajari kami semua untuk mengalah dan sayang kepada adik-adik. Menjadi sulung memang menjadi kesayangan Bapak, tapi itu juga berarti harus siap mengalah, dan menjadi teladan bagi kami adik-adiknya.

Hm, miss u sis…

No comments: